Sudut pandang Adam
Kuturuni dua tangga hingga akhirnya sampailah aku di lantai paling bawah mansion. Gila, tempat ini benar-benar luas dan besar. Aku sampai pegal berjalan kaki. Bagaimana dengan nasib para pekerja yang bekerja di tempat ini, ya? Pasti mereka sangat kelelahan, apalagi untuk membersihkan seluruh ruangan yang ada di tempat ini.
Eh, tunggu. Aku baru sadar. Dari tadi aku tidak melihat siapa pun. Hanya ada aku, Mas Zarek dan juga Kak Jihan yang melewati tangga dan setiap lorong yang ada. Seakan-akan tempat ini kosong dan hanya ada kami saja yang berada di sini. Penasaran. Aku pun menanyai perihal kosongnya tempat ini pada Mas Zarek dan juga Kak Jihan.
"Mas, Kak, kenapa dari tadi aku tidak melihat satu pun orang selain kita, ya? Apakah di tempat ini tidak ada pekerja selain kalian berdua?"
Pertanyaanku langsung diangguki oleh Kak Jihan.
"Para pekerja di sini memang tidak terlalu banyak, dan kebanyakan dari mereka lebih suka bekerja secara diam-diam. Jadi, wajar kalau kamu tidak melihat satu pun orang selain kami di sini," ujar Kak Jihan yang aku respons dengan sebuah anggukan kepala.
Aneh. Ada ya orang seperti itu. Bekerja secara diam-diam. Mau tidak percaya dengan ucapan Kak Jihan, tapi kondisi tempat ini benar-benar sangat bersih dan rapi. Seakan-akan tempat ini memang diurus dan dirawat dengan sangat baik.
Aku pun beralih menatap Mas Zarek. Ada hal lain yang ingin aku tanyakan. Namun, baru saja aku menoleh, kudapati Mas Zarek sedang terpejam. Ia pun sedikit mendengkur. Ya, dia sedang tertidur. Tapi, bagaimana bisa?
Kutatap Kak Jihan sembari menunjuk Mas Zarek yang tertidur sembari berjalan. Sembari tersenyum, Kak Jihan mengatakan padaku untuk jangan kaget.
"Mas Zarek memang seperti itu. Jadi, biasakanlah," ujarnya.
Aku pun mengangguk dan lalu fokus menatap Mas Zarek yang menurutku terlihat sangat aneh. Bisa-bisanya orang yang sebelumnya bercakap-cakap denganku, kini tertidur sambil berjalan. Sangat lelap pula. Apakah ada sebuah kelainan di dalam dirinya? Jika iya, seharusnya segera ditangani. Karena akan sangat berbahaya jika ia tertidur dan lalu berjalan ke tempat-tempat yang berbahaya. Nyawanya bisa terancam.
Kami pun terus berjalan dengan Kak Jihan yang terus mengenalkan satu per satu lorong yang kami lalui. Aku yang cepat menghafal pun bisa langsung mengingat semuanya. Bahkan, ada satu lorong yang sangat ingin aku datangi, yaitu lorong yang mengarah ke ruang musik dan melukis. Ya, aku ingin bernyanyi dan melukis di sana.
Namun, baru aku sadari. Sepanjang lorong yang aku lewati, hampir di sisi kanan dan kirinya terdapat lukisan, patung dan juga ukiran. Hebatnya, semua itu diletakkan dengan sangat teratur dan rapi. Seakan-akan memang sengaja diletakkan di sana.
Akhirnya, setelah lelah berjalan, sampailah kami di depan sebuah pintu kayu besar, yang mana aku yakini, pintu ini adalah pintu masuk menuju ruang makan. Benar saja, setelah pintu dibuka, tampaklah sebuah ruang makan raksasa yang mana persis sekali seperti ruang makan yang ada di istana Kerajaan Inggris. Benar-benar luas dan besar, lengkap dengan meja panjangnya dan kursi di sisi kanan dan kirinya. Sebenarnya, tempat ini sebuah mansion ataukah sebuah istana? Benar-benar besar.
"Silakan duduk," pinta Kak Jihan.
"Tunggulah sebentar, kami akan mempersiapkan semuanya," tambahnya dan lalu pergi meninggalkanku.
Aku duduk di kursi yang berada tepat di tengah-tengah meja panjang ini. Satu, dua, tiga, sampai dua puluh. Kursi di meja ini berjumlah dua puluh buah. Banyak sekali. Aku pun duduk sembari memandangi sekitarku. Langit-langit yang penuh dengan lukisan pemandangan semesta, lampu mewah yang kacanya terbuat dari berlian, dinding batu yang di beberapa permukaannya terukir motif tanaman, dan jendela-jendela besar yang menghadap tepat ke arah kebun penuh tanaman yang ada di luar sana. Takjub. Itulah yang aku rasakan. Lagi dan lagi, aku merasa tidak percaya kalau tempat seperti ini benar-benar ada di dunia nyata. Seperti di negeri dongeng, namun dalam konteks nyata.

KAMU SEDANG MEMBACA
SUKMA
FantastikKalau suka sama ceritanya, jangan lupa klik vote/like-nya ya. Terima kasih *** Pertemuan Adam, bocah berusia sepuluh tahun dan Aldebaran, pria berusia dua puluh lima tahun memang tidak berkesan baik. Namun, semuanya berubah saat Aldebaran mulai meng...