Kamarnya begitu terang sewaktu Jian terbangun dari tidurnya. Gadis itu menggeliat sedikit, lalu menatap presensi seseorang yang berdiri di depan cermin-membelakanginya. Jelas itu Jimin. Siapa lagi yang memiliki bau khas seperti kombinasi aroma hujan dan manis maple selain Jimin? Tanpa sadar, Jian menghirup aroma tersebut lebih dalam. Ia menyukainya, tapi tidak dengan orangnya. Entahlah.
Mata gadis itu kembali terpejam-bergelut dengan selimut dengan kepala yang nyaris tenggelam pada bantal yang kelewat empuk itu. Dan ketika hendak menutup seluruh tubuhnya, tangan besar segera meraihnya dan menurunkan selimut agar Jian segera bangun.
"Bangun dan bersiaplah."
Jian yang mendengus, otomatis menatap Jimin. "Kenapa?"
"Aku akan mengenalkanmu pada keluargaku."
Jian menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak mau."
Jimin tersenyum. "Kita sudah menikah, kau ingat? Jadi kau harus mengenal mereka."
"Menikah paksa," koreksi Jian.
"Bersiaplah, aku akan menunggumu di luar. Kalau tidak, aku akan memakai caraku sendiri," kata Jimin sebelum berdiri dan berjalan keluar kamar.
Sementara Jian sendiri mengusap kasar wajahnya. Mau tidak mau ia segera bangun dan menuruti apa kata si brengsek Jimin tadi. Ia terlalu malas untuk memulai sebuat perdebatan.
Selesai dengan mandinya, Jian berkutat di depan lemari yang terbuka; memilah-milah gaun mana yang akan dipakainya pagi ini. Semua gaun-gaun di dalam sana terlihat bagus, sehingga membuatnya kebingungan. Ia takut jika apa yang dipakainya nanti tidak sesuai dengan mereka-keluarga Park Jimin.
Akhirnya Jian memilih gaun putih lengan panjang yang kini telah membalut tubuhnya. Gaun itu tampak sederhana namun juga elegan. Sekali lagi ia mematut dirinya di depan cermin, lalu memutar tubuhnya. Saat dirasa sudah cukup dengan gaunnya, Jian berkutat dengan alat riasnya-memberikan polesan tipis di wajahnya.
"Sudah selesai?" tanya Jimin yang tiba-tiba saja membuka pintu kamar-bertepatan dengan Jian yang telah selesai dengan high heels-nya.
Jian hanya diam ketika Jimin merangkul pinggangnya. Sekali lagi, Jian terlalu malas untuk memulai perdebatan. Itu hanya akan sia-sia. Ia juga tidak ingin membangkitkan sisi liar Park Jimin. Merepotkan, sungguh.
"Tidak seperti biasanya kau langsung menurutiku seperti ini. Aku menyukainya," kata Jimin setelah mereka tiba di dalam mobil. "Tetaplah seperti ini, Ji."
Jian tertegun atas ucapan Jimin barusan. Apa karena pelukan pria itu, ia menjadi penurut? Tidak! Jian menggelengkan kepalanya.
"Aku sedang tidak ingin berdebat," jawabnya.
Setelah itu tidak ada yang berbicara. Jimin yang fokus pada jalanan, sedangkan Jian sebisa mungkin menahan diri agar tidak tertidur.
***
"Ji, bangunlah. Dua hari ini kau banyak tertidur," ucap Jimin pelan.
Jian mengerjapkan matanya. Matanya membola ketika menatap rumah besar dan mewah di hadapannya.
"Rumah ayahku," ujar Jimin yang lagi-lagi mengetahui apa yang ada di pikiran Jian saat itu. Kemudian keluar dari mobil, lalu mempersilahkan si gadisnya untuk turun.
Demi Tuhan, rasa-rasanya rahang Jian akan jatuh ke bawah ketika melihat bangunan besar dan mewah di hadapannya-persis seperti istana di film Disney. Arsitekturnya sangat kental dengan bangunan Eropa. Baru kali ini Jian menemukan bagunan semewah ini di Korea, negaranya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEADER
Fanfiction(on going) Si brengsek Park Jimin yang katanya adalah seorang mafia itu menculiknya, hingga membuatnya terjebak dalam sebuah permasalahan, lalu dipaksa untuk menikah demi keselamatannya. Demi apapun, Song Jian sangat membencinya. Dan berharap menjad...