Chapter 03

452 57 2
                                    

Aku berusaha membuka mataku-yang entah kenapa terasa seperti diberi perekat. Saat aku hendak memegang kepalaku, bukannya bertemu dengan rambut, justru aku menemukan perban yang melilit di kepalaku. Kupaksakan mataku untuk menatap sekeliling ruangan ini, namun tidak kutemukan peralatan medis satu pun, melainkan hanya sebuah kamar yang begitu asing.

"Kau sudah bangun?"

Suara bariton pria di sampingku mengejutkanku, dan aku baru menyadari, bahwa ada pria yang berbaring di sebelahku.

Aku mencoba bergeser ke tepi kasur, mencoba mengatur jarak kami. "Kenapa aku ada di sini?" tanyaku dan pria itu duduk dari posisi tidurnya.

Sial. Ternyata pria sinting kemarin.

"Aku yang membawamu ke sini," jawabnya dengan datar. Bagaimana bisa ia berkata dengan begitu mudah?

Aku jadi teringat Taehyung yang menyuruhku untuk menjauhinya, tanpa disuruh pun aku sudah memiliki rasa tidak aman jika berdekatan dengan pria ini.

"Terima kasih sudah menolongku, aku akan pulang," ucapku dan segera turun dari kasur untuk beranjak pergi, namun tangan pria itu mencekal lenganku. Aku menatap genggaman tangannya padaku, lalu matanya.

"Bukankah kau seharusnya tahu, kalau aku yang menyuruh mereka mengejarmu dan menabrak mobilmu?" jelasnya seraya menatap mataku dalam. Sial, aku merasa terintimidasi sekarang.

Aku mencoba melepaskan genggamannya, tapi tidak bisa, tenaganya terlalu kuat dibandingkan dengan tenagaku.

"Apa maumu?" teriakku.

Pria itu menarik paksa lenganku, membuatku terjatuh ke kasur. Ia mendekatkan wajahnya padaku dan tersenyum, lalu mengatakan, "Kau akan menjadi milikku, Song Jian," tegasnya.

Jangan pikir aku akan menerimanya dengan mudah. Tentu saja tidak! Aku tidak menerimanya. Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya dengan menarik tanganku.

"Lepaskan aku," desisku dan pria di depanku ini hanya menatapku remeh.

"Kau tidak akan ke mana-mana. Kau akan di sini bersamaku. Ingat itu, Ji."

Persetan! Tanpa pikir panjang, kugigit tangannya yang masih menggenggamku dan menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

Saat tiba di tangga besar menuju lantai bawah, kurasa rahangku hampir terjatuh sekarang juga; sebab mansion ini terlihat begitu mewah dan luas. Aku mencoba melewati lorong yang disangga oleh pilar-pilar besar yang membuatku menganga. Tempat ini seperti kastil yunani saja!

Saat aku berbelok melewati lorong, tiba-tiba saja pria itu sudah berdiri di hadapanku dengan tangan yang bersidekap. Wajah dinginnya dilengkapi dengan tatapan yang tajam, memperlihatkan bahwa ia sedang... marah? Dengan sigap pria itu meraih tanganku-lebih tepatnya, meremasnya dengan kuat.

Sungguh, ini sakit. Sakit sekali. Pria itu menarikku dengan kuat, lalu menggendongku seperti karung beras Bibi Jeon. Aku berusaha melawannya dengan memukul punggungnya, namun sepertinya itu tidak berpengaruh. Ah, baj*ngan ini!

Ia membawaku ke kamar tadi, lalu melempar tubuhnya ke ranjang. Sontak aku membawa tubuhku ke sudut kasur, menatapnya was-was.

Pria itu mengusap wajahnya letih, lalu menunjukku, "Kau tidak akan keluar dari sini."

Selang beberapa detik, ada seorang pria datang ke kamar ini, ia menatapku sebentar sebelum berbicara dengan pria sinting itu. "Apa yang kau lakukan padanya, Jimin?"

Jimin? Namanya Jimin?

Jimin menatap pria itu dengan datar. "Diamlah, Hyung."

Aku mengambil kesempatan untuk menatap pria yang dipanggil Hyung oleh Jimin tadi dengan tatapan memohon, agar ia mau membantuku keluar dari sini. Sebab aku tahu, dia adalah orang yang baik. Tetapi yang kudapati hanyalah tatapan iba, membuatku jengkel dan putus asa dalam satu waktu.

"Jangan menatapnya!" Teguran Jimin barusan membuatku mengalihkan tatapanku padanya.

Jimin dengan langkah besarnya segera menutup pintu dan menguncinya, lalu mendekatiku kembali. Aku semakin menyudut hingga punggungku menabrak headboard ranjang. Sekarang aku benar-benar terjebak. Pria itu menarik daguku agar aku membalas tatapannya.

"Kau milikku," bisiknya tepat di telingaku dan mengeratkan cengkramannya di daguku. "Kau tidak boleh menatap pria lain selain diriku!" teriaknya membuatku ketakutan.

Tubuhku gemetar, aku takut kalau dia akan memukulku seperti apa yang dilakukan oleh wanita yang kemarin. Namun dugaanku meleset, ia hanya menatapku dengan senyuman-yang justru semakin membuatku ketakutan.

"Jadilah wanita penurut, setelah itu kita akan menikah," ucapnya.

Apa telingaku tidak salah dengar? Menikah? Hei, bahkan aku baru bertemu dengannya dua hari yang lalu, dan sekarang ia mengatakan kalau kami akan menikah? Yang benar saja! Aku tidak ingin menikah dengan pria sepertinya, aku ingin menikah dengan pria normal. Sungguh!

"Aku tidak mau!"

Plak!

Ia menamparku dengan sangat amat keras sekali, hingga aku tidak bisa merasakan apapun (mati rasa). Tuhan, aku ingin pulang. Taehyung, apa kau mendengarku? Jemput aku di sini. Tanpa kusadari, air mataku lolos begitu saja dari kelopak mataku.

Jimin menatapku, tangannya yang tadi menamparku mulai bergerak lagi. Aku takut, aku menutup kedua mataku, aku tidak ingin ditampar lagi. Aku tidak menyukainya.

Aku merasakan kedua tangannya menyentuh pipiku dengan amat pelan, seolah aku adalah benda yang mudah pecah, sontak aku membuka mata pelan-pelan. Dan aku mendapati Jimin menatapku cemas. Jemarinya mengusap pipiku pelan, terasa hangat sekali.

"Jangan menangis, hm? aku tidak akan menamparmu lagi," ucapnya seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

Selang beberapa menit berlalu, Jimin membaringkan tubuhku, lalu menyelimutiku sampai ke dagu. Tangannya masih saja mengusap air mataku yang enggan berhenti. Dan tidak ada yang bisa kulakukan selain menurutinya.

"Aku akan keluar, agar kau merasa tenang," ucap Jimin, lalu benar-benar melangkah meninggalkanku setelah ia mengunci pintu kamar dari luar.

Aku menarik selimutku hingga menutupi kepala, menghapus air mata sialan ini yang masih saja berdesakan keluar.

"Taehyung," gumamku sebelum alam mimpi menjemputku.

***

"Hei, Ji. Bangunlah."

Aku menutup kepalaku dengan bantal. Tidak bisakah Taehyung memberikanku waktu sedikit agar tidur lebih lama? Kenapa ia mudah sekali bangun pagi?

"Song Jian, ayo sarapan."

"Sebentar lagi, Tae," ucapku setelah itu tidak terdengar suara lagi.

Aku meraba sisi kasur lain mencari bantal dan gulingku, tapi yang kudapati adalah sesuatu yang elastis dan... lebar? Aku memukul benda itu dan terdengar suara ringisan. Akhirnya aku membuka mataku dan melihat seseorang yang kini menahan tanganku di perutnya.

Aish, sial. Itu perut Jimin. ('⊙ω⊙')

"Kau suka sekali meraba diriku," kekehnya membuatku beringsut menjauh. Sialan. Jadi, kemarin bukan mimpi?

Sekarang ini Jimin memang bertelanjang dada, ia hanya memakai celana tidur saja. Tubuhnya atlestis dan banyak kotak-kotak di sana. Kalau dihitung ada enam kotak di perutnya. Sungguh, tubuh yang mempesona. Aish, singkirkan pikiran kotormu itu, sialan!

"Menikmati apa yang kau lihat, Ji?" Jimin tertawa. "Tidak masalah, ini nanti akan menjadi milikmu," godanya semakin membuatku malu. Dan bisakah aku tenggelam saja?

Jimin mengambil piring sarapan di atas nakas dan memberiku sarapan itu. Aku sebenarnya ingin makan. Hanya saja, aku takut kalau makanan itu sudah dimaksukkan sesuatu yang membuatku menyesal nantinya.

Jimin menyodorkan makanan itu dan aku selalu menolaknya, hingga ia mulai menggenggam kuat piring itu.

"Baiklah jika kau tidak mau makan."

Prang!

Jimin membanting piring itu membuatku amat sangat terkejut. Ia menatapku tajam lalu berdiri dan meninggalkanku di kamar ini sendiri. Dan tak lupa, ia selalu mengunci pintunya.

Apakah ini sudah berakhir? <>

LEADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang