4. How can i leave you?

179 44 14
                                    

Lantunan lagu yang dinyanyikan Lisa malam ini sungguh memukau. Sepanjang aku mengenalnya, aku tidak pernah tahu bahwa dia bisa bernyanyi dengan begitu indah. Saat dia memetik gitar dan melantunkan lagu "Malibu Nights" dari Lany, suaranya benar-benar mempesona, dan dia tampak begitu ahli dalam memainkan alat musik tersebut.

Namun, di luar keindahan malam itu, ada ketegangan yang menyelimuti suasana. Seharian ini, Lisa tidak menegurku atau memanggil namaku. Tanpa sepengetahuanku, dia menyiapkan obatnya sendiri di samping tempat tidur dan mengunci kamarnya dari dalam, membuatku terpaksa tidur jauh darinya dan menjaga jarak. Sikapnya menunjukkan bahwa dia tidak ingin diganggu.

"Mengapa kau berdiri di sana, Jennie?" Suaranya terdengar lembut namun penuh ketegangan. Dia tidak berbalik, hanya membuka suara setelah aku terpaku tanpa bergerak.

"Aku ingin bertanya kepadamu," ucapku dengan suara bergetar. Lisa berhenti bermain gitar, memeluk gitarnya erat-erat, dan perlahan memutar tubuhnya untuk menghadapku sepenuhnya.

"Bolehkah aku meminta libur?" Aku menelan saliva, merasa sulit untuk mengeluarkan kata-kata tersebut. Taehyung, pria yang baru aku kenal dan menyenangkan itu, selalu ingin mengajakku keluar. Kebetulan, besok adalah hari peringatan kematian Eomma, dan aku berharap bisa meminta libur untuk pergi ke kampung halamanku di Busan bersama Taehyung.

"Berapa lama?" Tanya Lisa, tatapannya dingin dan tidak terbaca.

"Aku pikir, tiga hari. Kau bisa memotong gajiku nanti," ucapku sambil tersenyum canggung. Lisa terlihat berpikir sejenak, lalu membelakangi aku dan berkata dengan nada datar, "Ambilkan obatku di nakas sekarang."

Aku menghela napas panjang, lalu bergegas pergi ke kamarnya. Aku menemukan obat yang seharusnya hanya berkurang dua butir malah tinggal satu dari sepuluh. Aku baru membelinya kemarin, dan aku tahu betul bahwa antidepresan tidak boleh diminum secara berlebihan.

"Kau minum berapa semalam?" tanyaku dengan nada menuntut, merasa marah dan cemas.

"Berikan padaku," tangan Lisa menadah, tatapannya sangat dingin dan datar. Dari wajahnya, aku bisa melihat bahwa dia kurang tidur dan tidak enak badan. Dia belum makan hari ini dan seharusnya minum obat setelah makan. Namun, aku harus tahu kemana butir-butir obat ini pergi. Jika dia mengonsumsinya secara berlebihan, aku tidak bisa diam saja.

"Katakan padaku," desakku.

"Apa pedulimu? Berikan padaku," ucapnya dengan nada tegas. Melihat matanya yang pasrah dan penuh dengan kecewa, hatiku terasa sakit. Aku merasa sangat peduli padanya, jika tidak, mengapa aku melakukan semua ini?

"Aku peduli padamu," ucapku setengah bergetar, dengan tulus. "Jika tidak, apa yang kulakukan selama ini?"

"Berikan."

Lisa benar-benar membuatku kesal. Setelah seharian mendiamkanku, kini dia tampaknya ingin overdosis? Aku merasa marah dan bingung.

"Kenapa kau marah kepadaku?" tanyaku akhirnya, dengan nada yang meninggi. Diamnya membuatku sakit hati.

"Ada hal yang ingin kau katakan? Bicara, Lisa. Diammu membuatku bingung."

Satu menit berlalu dengan ketegangan. Ketika matanya yang awalnya penuh kemarahan kini mengeluarkan air mata, aku merasa panik dan tidak tega. Air mata itu menetes perlahan, membuatku merasa hancur.

"Maaf, maaf, maaf," ucapku terbata-bata, berjongkok di sampingnya dan mengusap pipinya dengan lembut. Dia mengatur napasnya, menatapku seolah memohon agar aku berhenti berbicara.

"Aku tidak akan kemana-mana, eoh? Aku hanya khawatir karena kau sudah meminumnya hari ini."

Kini, aku duduk di samping kasurnya yang empuk, memeluknya erat dan mengusap lembut pucuk kepalanya. Setelah makan dan persediaan obatnya menipis, aku harus siap jika psikosomatisnya kambuh lagi. Jika itu terjadi, aku harus berlari ke apotek dan membelinya lebih banyak.

Attraction Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang