6. Berubah Pikiran

1.7K 406 9
                                    

"Jam tangan apa?" tanya Laras yang tiba-tiba saja sudah berada di sebelahku.

"Itu ... jam tangannya Mas Prana keciprat kuah baksoku," kataku asal sambil berharap semoga saja Prana mengikuti sandiwaraku. Prana terlihat tidak peduli dan meneruskan makannya dengan wajah datar. Beruntung Prana buka tipe lelaki yang banyak bicara dan lebih memilih diam saat mendengar kebohonganku.

"Setelah ini kita pulang, kan?" tanya Laras sambil menoleh ke arah Prana.

"Terserah kalian saja, aku cuma mengantarkan kalian," balasnya. Ternyata sikap dingin dan nggak peduli lelaki ini memang sudah bawaan dari dulu. Andai saja aku bisa mengubahnya menjadi sosok yang lebih hangat, mungkin di masa depan dia akan menjadi sosok atasan yang menyenangkan.

"Memangnya kamu mau ke mana lagi?" tanyaku pada Laras.

"Nggak ada sih," jawabnya dengan wajah penuh senyum yang membuatku curiga.

"Kalau sudah makannya, kita langsung pulang aja," ajak Prana kemudian. Dasar dua saudara yang nggak tahu diri. Beda banget kalau ada salah seorang di keluargaku yang menikah. Nggak ada tuh namanya keluarga yang cuma datang, makan, dan pulang seperti kelakuan dua orang ini. Semuanya pasti saling membantu, entah itu hanya pekerjaan sepele, yang penting intinya membantu meringankan pekerjaan.

Atau bisa jadi juga keluarga Laras yang menikah ini membayar jasa orang agar keluarganya tinggal datang tanpa perlu melakukan apa pun.

Aku dan Laras segera beranjak dari duduk dan mengikuti langkah Prana. Nggak ada perubahan berarti dari postur tubuh Prana jika dilihat dari belakang seperti ini, sepertinya dia berolahraga cukup keras untuk menjaga bentuk tubuhnya.

"Mas tinggal di mana sih?" tanya Laras setelah berada di dalam mobil Prana.

"Kenapa kok tanya-tanya segala?" tanya Prana yang walaupun diucapkan dengan nada dingin, aku yakin jika dia sedang bercanda.

"Mau tahu aja, siapa tahu suatu saat waktu aku lagi nggak punya duit buat makan, aku bisa datang ke tempat tinggalnya Mas Prana buat numpang tinggal sampai gajian," jawab Laras panjang lebar.

"Lebih baik kamu jangan tahu aja kalau gitu," balasnya dan membuatku menahan tawa.

"Biarin aja nanti kalau Tante datang dan tanya gimana Mas Prana, aku bakal bilang nggak tahu, nggak pernah ketemu dia, rumahnya aja nggak tahu di mana," ucap Laras dengan nada kesal.  Tante yang dimaksud Laras ini sudah pasti orang tuanya Prana.

"Iya ... iya, nanti kapan-kapan kuberitahu," kata Prana akhirnya.

"Astaga! Mas Prana, bisa antarin aku balik lagi ke hotel tadi nggak?" Suara Laras yang bernada cemas membuatku terkejut.

"Ngapain?"

"Amplop titipan Mama buat pengantin ini lupa kasih tadi," jawab Laras.

"Tinggal ditransfer aja nanti," usul Prana dan membuat mata Laras melotot tajam.

"Mana boleh aku buka isi amplop ini," balasnya dengan nada kesal.

"Ayo Mas, putar balik," pinta Laras dengan tidak sabar.

"Nggak bisa putar balik di sini," balas Prana.

"Siapa suruh kamu lupa," sambungnya.

"Aku telepon Damar aja kalau gitu buat jemput aku. Lagi pula kita belum jalan terlalu jauh," ucap Laras sambil mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Sama aja kalau minta jemput Damar," komentar Prana setelah Laras menyelesaikan panggilan teleponnya. Sepertinya Damar adalah nama salah seorang saudaranya yang juga sedang berada di hotel.

Met The ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang