5. Tertinggal

1.8K 419 6
                                    

Perlahan kata 'hai' yang aku ucapkan pun tak terdengar lagi. Mataku tak berkedip menatap sosok jangkung di hadapanku ini, sementara jantungku berdetak semakin cepat, seolah lelaki ini adalah seseorang yang sangat aku idolakan sehingga melihatnya saja membuatku berdebar.

"Ini Mas Prana, sepupuku yang baru pindah dari Surabaya." Suara Laras kontan membuatku tersadar dan saat tatapan mata kami bertemu, aku pun segera mengalihkan mataku darinya.

Demi apa pun itu, aku nggak pernah tahu jika Laras dan Prana adalah sepupu. Saat pernikahan Laras di masa depan, aku tidak ingat jika pernah melihat Prana dan Laras juga tidak pernah menceritakan tentang Prana padaku. Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Kenapa masa lalu berubah begitu banyak?

"Lian," ucapku dengan suara pelan. Oh! Kali ini aku benar-benar nggak berani menatap matanya apalagi saat mengingat apa yang telah terjadi tadi malam. Ah tidak! Tidak ada apa pun yang terjadi, itu hanya sebuah kesalahan yang nggak seharusnya kuingat.

"Kita sudah pernah berkenalan, bukan?" tanyanya dan aku pun tercengang seperti orang bodoh. Menyebalkan! Seharusnya dia pura-pura nggak mengenalku saja.

"Oya? Di mana? Kok nggak bilang-bilang?" ujar Laras sambil matanya mengarah padaku.

"Baru saja tadi malam." Aku belum sempat menjawab pertanyaan Laras tapi Prana sudah lebih dulu menjawabnya.

"Astaga! Bisa aja kamu, Mas," timpal Laras dengan nada bersemangat.

"Eh ... iya, semalam nggak terlalu jelas, jadi aku nggak terlalu ingat wajah sepupumu itu," bisikku pada Laras agar dia nggak salah paham kenapa tadi aku seperti tidak mengenal Prana.

"Bagus deh kalau sudah kenal. Mas Prana ini bekerja di Vitex, perusahaan tekstil yang di arah mau ke Magelang itu loh," jelas Laras padaku. Aku mengangguk mengerti, padahal aku juga akan bekerja di perusahaan di beberapa tahun yang akan datang.

Aku, Laras dan Prana kemudian memasuki hotel dan segera menuju ball room. Suasana sudah begitu ramai dan tiba-tiba saja aku merasa jika di sini bukanlah tempatku. Aku merasa sangat canggung, apa mungkin karena ada Prana yang berada di dekatku?

"Sebentar ya, aku ke toilet dulu. Kayaknya ada yang nggak pas dengan pakaianku," bisikku di telinga Laras. Padahal yang sebenarnya terjadi aku ingin menghilangkan rasa canggung dan berusaha menenangkan diri. Rasanya sangat memalukan saat mengingat apa yang mungkin saja terjadi tadi malam. Apa sebaiknya aku memperingati Prana agar tidak berbicara apa pun pada Laras?

Tapi ... bukankah hal itu sama saja mempermalukan diriku?

Tenang Lian, mungkin sebaiknya aku berpura-pura tidak ingat dan menganggap Prana hanyalah seseorang yang baru saja aku kenal.

Setelah menatap pantulan wajahku di cermin, aku menarik napas panjang dan berusaha tidak terpengaruh dengan Prana yang ternyata adalah sepupu Laras. Hanya Prana yang bahkan di masa yang akan datang saja hanya sosok asing buatku, harusnya sekarang juga begitu.

Mataku bersorot bingung saat memasuki ball room. Terlalu banyak orang dan membuatku kesulitan untuk mencari sosok Laras. Setelah lelah mencarinya, aku pun menghampiri stan makanan. Lebih baik makan daripada lelah mencari Laras.

Tapi ... kenapa ada Prana di stan yang menyajikan bakso? Padahal aku sedang ingin makan bakso dengan kuah hangatnya yang pasti terasa segar di sore hari yang mendung seperti ini.

Aku sedang nggak mau berbasa-basi dengan Prana karena ujung-ujungnya aku pasti akan merasa sangat canggung. Wajahku bisa saja seperti pura-pura nggak peduli, tapi mana mungkin aku lupa jika tadi pagi aku bangun tanpa mengenakan pakaian sehelai pun di kasurnya.

Eh ... tapi itu memang kasurnya ya? Yang tadi pagi itu benaran apartemennya? Kenapa sekarang aku jadi nggak yakin dengan ingatanku. Seingatku memang Prana sosok yang kutemui sebelum aku nggak sadarkan diri. Tapi bisa jadi dinsaat aku nggak sadarkan diri itu, justru orang lain yang membawaku ke apartemennya.

Met The ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang