"Maksud Lo apa ngomong ke Jaemin kalo kakak dia udah mati?"
Renjun, yang ditanya tak menjawab. Matanya terfokus melanjutkan kegiatannya membaca Laporan Pertanggungjawaban kegiatan 2 hari lalu.
Jeno menghela nafas kasar, dia benar-benar tidak tahu apa motif Renjun mengatakan hal yang entah benar atau hanya bercanda. Tapi bukankah kematian bukan hal yang bisa dijadikan bahan bercandaan? Apalagi ini menyangkut sahabat mereka.
"Jun! Jawab pertanyaan gue. Lo tahu gimana Jaemin, jangan tambah beban dia. Dengan Lo ngomong kaya gitu itu bikin dia engga punya semangat hidup....."
"Tapi dia masih hidupkan." Ucap Renjun menimpali dengan mata yang tetap fokus pada laptopnya.
Jeno terdiam, tangannya mengepal berusaha menahan emosi mendengar bagaimana Renjun mengatakan kalimat itu dengan mata yang masih fokus menatap laptopnya seolah kata-katanya hanya angin lalu.
"Jun, Lo kenapa sih? Jaemin ada bikin salah ke Lo?" Tanya Jeno begitu dia sudah bisa menguasai emosinya lagi.
Kali ini Renjun menghela nafas, dia akhirnya menyerah membaca laporan yang seharusnya segera dia serahkan kepada pembina OSIS. Kalau dipikirkan lagi Jaemin tidak pernah berbuat salah padanya, tapi sikap Jaemin yang selalu membohongi dirinya sendiri membuatnya bosan. Bukankah lebih baik membuat Jaemin berhenti membohongi dirinya dengan kebohongan lain?
"Gue tanya sama Lo, Lo tau siapa kakak Jaemin? Jaemin engga pernah cerita ke Lo siapa kakaknya kan? Lo punya telinga, Lo punya mata, Lo juga dengerin sama lihat apa yang Jaemin sama orang itu bilang. Terserah Lo mau anggap gue gila atau engga punya hati. Lo yang tau sendiri hati gue udah mati setelah kejadian itu dan gara-gara kejadian kemarin buat gue sadar engga ada gunanya kan kalo gue.... Ah udahlah males gue."
Jeno menelan ludahnya, dia lupa. Lupa kalau Renjun juga mempunyai kisah yang hampir sama dengan Jaemin, bedanya adalah Renjun yang hampir mati demi mengejar orangtuanya.
"Jun, maaf gue engga bermaksud buka luka lama Lo. Maaf juga kesannya kaya gue nyalahin Lo"
Renjun tersenyum, sudah biasa. Dirinya sudah biasa diposisi ini, posisi yang membuatnya terlihat bersalah. "Nyatanya memang bener, kakak Jaemin udah mati."
"Jun..."
"Kalo gue bisa balik lagi ke masa itu gue lebih milih buat engga ngejar orangtua bohongan itu. Kalo aja gue engga bodoh waktu itu, semua bakal bahagia kan Jen?"
"Tapi kenapa waktu itu gue malah milih ngejar orang yang ngaku orangtua kandung gue dibanding nemenin adek gue yang demam waktu itu."
......
"Nama kakak indah..."
Jeno benar, Jaemin seperti tidak ada semangat hidup tapi Renjun juga benar kalau dia masih hidup. Otaknya selalu berkata dia tidak percaya dengan apa yang Renjun katakan padanya. Kakaknya masih hidup, dia masih percaya hal itu. Dia bahkan punya firasat bahwa kakaknya ada disekitarnya, kali ini dia tidak bercanda.
Kakaknya selalu terasa kehadirannya, mungkin karena mereka kembar jadi Jaemin bisa merasakan kehadiran kakaknya.
Pergi dari panti karena tahu Jaemin dibawa pergi dan tidak pulang lagi?
Jaemin tertawa untuk hal itu, kalau kalimat itu diganti dengan ibu panti yang mengusir kakaknya baru Jaemin percaya melihat bagaimana ibu panti sering memukul kakaknya tanpa sepengetahuan Jaemin. Tidak ada yang bisa Jaemin percayai di panti asuhan itu termasuk Lee Haechan yang baru-baru ini diadopsi pamannya.
Tangan Jaemin memainkan cutter yang tajam, dua hari dia berdiam di kamarnya menatap kosong segala hal. Mau keluar kamar pun percuma, kamarnya terkunci dari luar. Jaemin menduga pasti ayahnya mendapat laporan dari ibu panti mengenai Jaemin yang datang mencari kakaknya.
Satu tusukan berhasil Jaemin rasakan, darah segar keluar dari bekas tusukan itu. Jaemin tersenyum, sakit tapi menyenangkan.
"Kak, Jaemin luka loh. Kakak engga mau datang obatin Jaemin?" Gumamnya sendu.
Air matanya mulai berjatuhan, perlahan mulai deras dan isak tangis mulai terdengar.
"Kak...."
Dering ponsel terdengar begitu lirih tapi tetap saja Jaemin yang terlalu peka akan suara menyadari hal itu. Segera dia hapus air mata yang masih berada di pipinya. Dia mengabaikan darah yang masih menetes biarlah darah di lukanya mengering sendiri toh nanti ia akan menyakiti dirinya lagi jadi buat apa diobati.
"Haechan?" Adalah nama yang tertera sebagai pemanggil.
Ibu jarinya menggeser ikon hijau, di dalam otaknya banyak sekali spekulasi mengenai kenapa sepupu barunya itu menelfon.
"Halo."
"......"
"Halo Jaemin? Kamu disana?"
"Ada apa?"
"Ah akhirnya kamu mengangkat telfonku. Apa kamu baik-baik saja?"
"......"
Apa saat ini Jaemin boleh berharap pada sesuatu yang semu?
"Jaemin?"
"Nana."
Hening, diseberang sana Haechan meneguk ludahnya susah payah. Sekelibat ingatan muncul begitu nama kecil Jaemin terucap oleh pemiliknya, sedetik kemudian dia tersenyum.
"Nana-nya kakak apa kabar?"

KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN
Fanfiction"Kak, kalau suatu saat satu diantara kita diadopsi duluan...." "Engga ada kata kalau buat yang satu itu, satu diadopsi berarti diadopsi semua." -NCT DREAM FANFIC -*CW : FAMILY ISUE*