Part 17 - Yang Pernah Bersemi

30 3 0
                                    

 "Cinta bukanlah suatu kesalahan. Namun, cara manusia menyikapi cinta itu sendiri yang sering salah."

***

Yang orang-orang pikirkan, menjadi seorang Gus sangat nikmat. Hidup dicintai, dihormati dan dihargai meskipun masih begitu muda ... mereka ingin merasakan penghormatan dan pusat perhatian yang luar biasa itu walau hanya sebentar. Tanpa mereka tahu, sekeras apa didikan yang diterima para keturunan trah kyai bahkan sejak masih kanak-kanak.

"Gus, selama di rumah, setoran hafalan sama Bu'e ya. Jadi, pas berangkat mondok lagi udah lancar."

"tapi, Bu ... ini kan waktunya libur sekolah, masa' harus setoran juga? Kapan Lana bisa mainnya?"

"Gus, pisau itu kalau ndak diasah terus nanti tumpul. Sama kayak ilmu, kalau gak diulang, nanti lupa. Jadi, meskipun libur tetep setoran nggeh? Nanti Bu'e ajak jalan-jalan ke pantai sebelum kamu balik ke pondok."

"tapi, Bu ..."

"Udah, gak ada tapi-tapian. Kalau kamu ndak mau, nanti Ibu suruh setoran sama Bapak loh. Mau disimak Bapak?"

"Gak mau, sama Bu'e aja. Tapi, Bu'e harus masakin makanan kesukaan Lana tiap hari ya selama Lana di rumah, jangan makanan kesukaan Kakak terus."

"Nggeh, nggeh ... apa sih yang gak buat Bagus e Ibu?"

Aku hanya bisa menurut dengan apa yang diarahkan Ibu saat itu. Kupikir anak-anak lain pun diatur sedemikian rupa oleh orang tuanya juga. Namun, semakin besar, aku kian mengerti bahwa teman-temanku tidak harus belajar keras.

Saat liburan, mereka bebas bermain dan jalan-jalan tanpa memikirkan pelajaran atau hafalan. Lalu, setelah kelulusan mereka juga bebas memilih untuk meneruskan sekolah di mana. Sementara aku juga Kakak-kakakku harus melanjutkan ke sekolah dan pesantren yang sudah ditetapkan oleh orang tua. Namun, jiwa remaja sekaligus anak bungsu yang sedikit dimanja, aku mulai memberontak. Alasan yang kugunakan adalah sejak kecil aku sudah dipondokkan jauh dari rumah, jadi aku ingin bersekolah di tempat yang dekat.

Akhirnya, Aliyah di perbatasan kota sebelah yang dipilih, dengan syarat aku tetap mondok non-mukim di tempat Yai Fahrul. Lalu, aku harus bisa mengkhatam Alfiyah juga saat hari kelulusan nanti. Aku menyanggupinya karena berpikir sekolah biasa akan menyenangkan. Namun, hal-hal tak berjalan sesuai ekspektasi.

Hari-hari di Aliyah tak jauh berbeda dengan di madrasahku sebelumnya. Pagi sampai siang belajar di kelas lalu sore mengaji kitab kuning juga di sekolah, dan malamnya baru ke pondok untuk ngaji lagi kemudian setor hafalan Alfiyah. Setelah itu baru pulang. Jika sudah malam atau kemalaman, aku pun memilih tidur di pesantren. Begitu terus. Rutinitas di sekolah menjadi sangat membosankan. Sampai sahabatku, Irsyad mengajak untuk masuk OSIS. Walaupun awalnya tidak diperbolehkan sebab bisa menganggu hafalan, aku tetap nekad dengan menegaskan bahwa aku bisa menyeimbangkan pelajaran. Sayangnya, genap satu tahun kepengurusan ... aku kembali bosan. Kegiatan OSIS terlalu monoton, aku juga kesulitan mengikuti acara di luar karena terhalang jadwal pondok. Aku jadi berpikiran untuk berhenti. Akan tetapi, saat tahun berganti dan pendaftaran anggota baru dimulai, ada adek kelas yang menarik perhatianku.

Namanya ... aku tidak mengingat namanya saat dia pertama kali memperkenalkan diri. Yang pasti kesanku padanya adalah bermasalah. Kami selalu dipertemukan saat dia membuat kesalahan. Pertama, saat meminta iuran OSIS, pin kerudungnya tersangkut di jas almamaterku. Kedua, ketika dia meminjam kitab kuningku untuk ikut ngaji, dia merobeknya. Ketiga, saat ada acara pramuka, dia mematahkan pinoring bendera yang baru saja aku buat. Kami terpaksa harus memperbaikinya berdua.

Di antara 2 GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang