11

24 15 80
                                    

•••
••

"Mampir dulu dong" tawaran Caca terdengar seperti paksaan.

Bumi menggeleng pelan. "Katanya cuma minta dianterin sampai depan pager, terus nambah lagi permintaannya" sindirnya.

"Yaudah sonoh, noh ... noh ..." usir Caca. "Nanti malem juga ketemu, jangan lupa mawar merah, gue udah lama enggak liat mawar merah, terakhir ..." Caca mengerutkan hidungnya. Mengingat-ingat.

"Kelas dua SMP".

Bumi menganguk. "Nanti gue bawain".

Caca memberikan ibu jarinya. Lalu melambaikan tangan ketika Bumi pergi. Ia menarik nafas dalam.

"Gila sih capek banget ini mah, besok gue beli sepatu yang ada rodanya deh" lirih Caca. Pasti kakinya lecet sekarang.

Dering ponsel membuat Caca urung membuka gerbang. Lagian kemana sih satpam nya?.

"Hallo Bun, udah sampe nih, didepan,hm, mana Satpam Caca enggak kuat dorong pager Segede dosa Ayah" ia mengangguk lalu menutup panggilan.

Tak lama satpam datang.

"Maaf non, habis makan tadi" ucapnya membukakan pagar.

Caca meng-oke dengan jarinya, lalu berjalan santai.

"Non Caca beda banget sekarang sifatnya, bahkan marah banget kalo ada yang manggil Laras, padahal nama Laras lebih kedengaran kalem" lirih Satpam menatap anak bosnya.

"Udah pulang kamu, Laras? Dari mana saja hah? Kenapa nolak Pak Tur jemput?".

"Ck. Caca bukan Laras, Laras udah mati" Caca melewati Ayahnya begitu saja.

"LARAS!! KENAPA SEMAKIN HARI KAMU MAKIN ENGGAK ADA ADAB SAMA ORANG TUA, HAH?!!" bentak Ayahnya.

Caca berhenti berjalan tanpa menoleh ia membalas bentakan ayahnya.

"Ayah yang ngajarin, lupa?".

David rasanya ingin membating putrinya itu, sejak ia tidak sengaja meninggalkannya sendirian di apartemen saat ulang tahunnya karena sibuk kerja, Putrinya berubah 380 derajat, bahkan berani membantah apa pun yang dikatakannya.

"Mas ... ini kopinya, nanti dingin" teguran lembut dari Ratih, istrinya membuatnya sedikit tenang.

"Kamu samperin Putri kamu itu, bilang sama dia jangan kurang ajar sama orang tua" perintah David.

"Jangan sampai tangan saya maju untuk menamparnya lagi".

Ratih mengangguk, lalu menuju kamar Putrinya. Ia mengetuk pintu kamar sang putri.

"Lar--Caca ... ini Bunda sayang, boleh masuk enggak?".

Tidak ada jawaban. Ratih mengetuk lagi.

"Candy Keylaras ... Bunda masuk yah sayang" Ratih mendorong pintu pelan. Ternyata Caca sedang duduk dikursi favoritnya. Kursi Hadian dari Mozza saat umurnya masih 10 tahun.

"Caca kok enggak nyahut Bunda manggil-manggil sih, marah sama Bunda juga nih, ceritanya".

Caca menoleh. "Caca males ngomong. Sariawan. Dan capek jalan mau bukain pintu tadi Caca habis jalan kaki pulang sekolah".

Bundanya duduk di ranjang tempat tidurnya yang memang dekat dengan kursi tempat Caca duduk.

"Kenapa jalan? Katanya Pak Tur kamu nolak dijemput? Kok malah jalan, Bunda kira ada cowok yang mau nganterin" goda Bundanya tersenyum.

Caca menoleh. "Emang diantar cowok, tapi jalan, cowok yang Caca suka orang yang enggak sama dengan kita, Bunda mau larang Caca enggak,nih?".

Bundanya tertawa pelan. Suaranya begitu merdu. Suara yang selalu dirindukan sekaligus menyasar hatinya saat ia mendengar nya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ENDING (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang