Part 6

4.2K 194 23
                                    

PDF ready tersedia juga di aplikasi karya karsa

Happy reading 🥰

"Bagaimana keadaan putri temanmu? Sudah ada perkembangan?" Tanya Eliza ketika ia dan Rasya dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Setelah memilih bahan di butik kain miliknya, ia menyuruh salah satu karyawannya untuk membawa bahan itu ke butik yang satunya supaya bisa segera di potong. Setelahnya, Eliza menyuruh Rasya mengantarkannya pulang karena ia sudah sangat lelah.

"Sudah agak baikan Nona. Jika beberapa hari ini perkembangan terus membaik, Naya bisa segera di operasi." Jawab Rasya sambil berkonsentrasi menyetir.

"Syukurlah. Aku cukup iba mendengarnya. Di rumah sakit itu dokter-dokternya sangat profesional. Mudah-mudahan gadis kecil itu bisa sembuh total setelahnya. Aku tidak bisa membayangkan anak sekecil itu harus berjuang melawan penyakit yang mengerikan. Pasti sangat sulit."

Rasya mengangguk, menyetujui ucapan Eliza sambil terus menatap ke depan, berkonsentrasi menyetir di tengah padatnya jalan ibu kota.

"Biaya pengobatan untuk sakit juga tidak murah. Kasihan sekali."

"Benar Nona. Ibunya harus berjuang keras selama ini untuk merawat putrinya. Untung saja ia bisa mendapatkan uang itu meskipun dengan susah payah. Saya benar-benar salut padanya."

Eliza mengangguk. Dalam hati cukup iba pada nasib temannya Rasya. Ia yang merekomendasikan rumah sakit Hadiwijaya grub pada Rasya. Sebenarnya Eliza bisa saja meminta Devano meringankan biaya pengobatan gadis kecil itu, tapi ia takut Devano kembali salah faham pada hubungannya dengan Rasya.

Ya Tuhaaan, sebenarnya apa yang membuat Devano begitu cemburu pada Rasya. Pemuda itu sangat profesional dalam bekerja. Sikapnya santun dan tidak pernah neko-neko. Sangat menghargainya sebagai majikan meski umurnya lebih muda.

Seharusnya Devano bersyukur ia punya sopir sebaik Rasya. Bukan malah cemburu tidak jelas seperti itu. Dasar posesif, batin Eliza menggerutu.

Sesampainya di rumah, Eliza tersenyum cerah kala mendapati mobil Devano terparkir di bagasi rumahnya. Jadi pria itu segera datang ke sini setelah dari rumah sakit. Dasar bucin akut. Pria itu memang tidak betah berlama-lama jauh darinya.

Eliza segera keluar dari mobilnya dan berjalan sedikit cepat sambil menenteng tas mahalnya. Ia melepas kacamata hitamnya dan dengan terburu-buru masuk ke ruang tamu karena pintu depan tidak di tutup.

Devano terlihat sedang berbincang santai dengan sang ayah. Pria itu terlihat begitu tampan dengan kemeja navy bermotif garis-garis, kado darinya ketika Devano berulang tahun yang ke 29 dua bulan yang lalu.

"Sayang, sudah lama ya, kenapa tidak bilang mau kemari?"

Devano menoleh mendengar suara wanita cantik yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Ia tersenyum, meraih tangan Eliza agar duduk di sampingnya.

"Sudah dari tadi. Papa aja sampek kasihan. Kamu sibuk banget akhir-akhir ini El, kasihan Devano nggak kamu perhatiin gitu."

"Ih Papa, apaan sih. Devano juga sibuk banget. Bukan cuma aku aja yang sibuk. Salahin Dev juga dong."

Eliza memberengut manja. Ia kesal karena sang papa selalu membela calon menantunya itu. Papanya merupakan pendukung utama Devano ketika mereka bertengkar. Bukan cuma papanya, ibu dan kakaknya juga begitu. Eliza kesal sendiri jadinya.

"Nggak apa-apa Om. El belakangan ini memang lagi ramai pelanggan. Jadi kami sama-sama sibuk. Tapi kami tetep saling kabar kok." Ucap Devano dengan sabar. Menatap penuh cinta pada Eliza yang cantik.

"Ya udah, kalian ngobrol dulu. Papa mau ke depan, nyuruh Rasya beliin rokok sama nasi padang kesukaan papa. Kalian mau nggak, biar papa belikan sekalian."

"Nggak usah Om, sebelum ke sini saya sudah makan di rumah sakit. Jadi masih kenyang."

"El juga nggak usah Pa. Takut gendut. Nanti minum susu aja sama roti. Oh ya Pa, Mama mana?"

"Mama kamu lagi arisan sama temen-temennya. Kamu itu gendutnya dimana sih, nggak takut nanti kurang gizi?"

"Papa iiiih,"

Hendra Adinata tersenyum, kemudian mengelus rambut putrinya penuh kasih sayang. Eliza menyengir manja menatap ayahnya.

"Ya udah, papa ke depan dulu. Kalian ngobrol aja yang nyaman."

"Oke Pa."

Setelahnya sang ayah pergi, Eliza menatap Devano yang juga tengah menatapnya. Pria itu mengelus rambutnya penuh kerinduan.

"Kau terlihat sangat lelah. Tapi satu hal yang aku kagumi, kau tetap cantik meski kelelahan seperti ini."

"Gombal."

"Serius. Kau tahu, setiap hari aku merindukanmu. Rasanya aku tidak tahan menunggu 3 bulan ini. Aku ingin sekali menikahimu detik ini juga."

Eliza merebahkan kepalanya pada pundak Devano. Mencium aroma maskulin lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.

"Dulu bahkan kau tahan ketika bertahun-tahun mengejarku. Kenapa sekarang jadi tidak tahan menunggu 3 bulan?"

"Karena aku sangat mencintaimu."

Eliza mengangkat kepalanya dan menatap Devano yang kini menatapnya dengan penuh cinta. Tatapan yang dulu bisa meluluhkan hati Eliza dan akhirnya menerima cinta pria playboy itu. Tatapan itu kini masih membuatnya tidak berdaya dan lemah.

Saat kepala keduanya mendekat dan bibir mereka hanya berjarak beberapa senti saja, suara deringan ponsel milik Devano membuat mereka mendesah berat. Merasa terganggu dengan panggilan itu.

Devano merogoh ponselnya dan mendapati panggilan dari salah satu teman dokternya. Devano segera mengangkat panggilan itu dan wajahnya seketika menegang. Ia menjawab ala kadarnya kemudian mematikan panggilannya.

"Ada apa? Sepertinya bukan kabar baik." Tanya Eliza penasaran. Melihat raut wajah Devano, pastinya bukan kabar baik yang di terima oleh tunangannya itu.

"Ibunya dokter Damar baru saja meninggal. Aku harus segera ke sana. Katanya ia juga meminta cuti beberapa hari, otomatis beberapa pasiennya harus aku tangani. Sebenarnya ada dokter Heru, tapi mungkin kami akan berbagi tugas."

"Baiklah, hati-hati. Kau terlalu lelah. Istirahatlah yang cukup, aku sangat mencemaskan kesehatanmu. Jadwalmu terlalu padat."

"Tidak apa-apa. Sudah resiko pekerjaan. Aku direktur rumah sakit, jadi harus bisa jadi panutan dokter-dokter lain."

"Hmm."

"Aku pergi dulu."

Devano mencium singkat kening Eliza kemudian bergegas pergi ke rumah sahabatnya yang tengah berbela sungkawa. Bisa ia pastikan beberapa hari ini ia akan super sibuk karena sebagian pasien-pasien Damar akan berpindah padanya.

Remember Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang