"APA-APAAN INI?"
"MAYA!"
Teriakan itu, membuat tidur Maya terusik. Gadis itu segera membuka kedua mata, untuk melihat siapa yang memanggilnya sambil berteriak. Tepat ketika kedua matanya terbuka, matanya langsung membulat saat melihat wajah seorang cowok yang begitu dekat dengannya. Bahkan, cowok itu juga sama ikut terkejutnya ketika melihat Maya.
"MAYA!"
Dua orang yang masih berbaring dalam keadaan berpelukan dan sambil menatap penuh keterkejutan itu, tersentak. Lalu, mereka mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dan saling berjauhan. Hingga keduanya melihat 3 orang yang kini berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah merah padam.
"Aby?"
Sebut Reina terkejut saat melihat teman satu sekolahnya lah cowok yang tidur bersama Maya.
Wajah gadis itu pucat saat melihat Mama, Papa dan saudara tirinya yang memandang Maya marah. Lalu, ia mengedarkan pandangan sejenak, memastikan jika ia tidur di kamarnya. Dan itu memang kamar milik Maya, ia tidak salah. Lalu, kenapa ada Aby di kamarnya? Bahkan, tidur sambil memeluknya.
"Apa yang terjadi?" batin Maya bingung.
Galih-Papa tiri Maya-berjalan mendekat, lalu menarik tangan Maya kasar agar turun dari kasur. Aby juga ikut bangkit dari kasur dengan segala kebingungannya.
"Keterlaluan! Siapa yang ajari kamu untuk ajak cowok masuk kamar, dan tidur bersama, huh? Apa seperti ini ajaran Papa kamu? Membiarkan anaknya jadi perempuan murahan?" tanya Galih.
"Om kalau punya mulut dijaga, ya! Jangan pernah bawa-bawa ajaran Papa. Apa yang Om lihat ini nggak seperti apa yang kalian pikirkan sekarang, saya nggak pernah bawa dia masuk ke sini," jawab Maya, ia tak terima Galih menjelekkan papanya.
"Kalau bukan kamu yang nggak ajak dia masuk ke sini, terus siapa? Dia nggak mungkin masuk sendiri ke sini. Kamu sudah ketahuan salah, masih aja terus mengelak. Memang dasarnya kamu anak nggak benar, pasti selama tinggal bersama Harun kamu sering kelayapan malam, kan? Oh ... atau, Harun sengaja membiarkan kamu bekerja sebagai wanita malam?"
Maya terperangah mendengar itu, bisa-bisanya Galih menuduh Maya dan papanya seperti itu. Apa yang dikatakan pria setengah baya itu tak ada yang benar sama sekali.
"Maaf, Om. Tapi kita tidak melakukan apa pun, Om salah paham," ujar Aby, justru ia juga bingung kenapa bisa sampai tidur di kamar Maya. Ia tak ingat apa yang terjadi semalam.
"Salah paham? Tidak melakukan apa pun? Lalu, apakah pantas seorang laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan tidur seranjang, huh?" balas Galih, lalu kembali menatap ke arah Maya yang tengah menahan emosi dengan kedua mata yang sudah memerah menahan tangis. "Kamu, Maya. Saya sudah baik hati mau menampung kamu di sini, tapi apa yang kamu lakukan? Bisa-bisanya berbuat yang tidak-tidak di rumah saya. Muka kamu aja terlihat polos, tapi kenyataannya selama ini kamu diam-diam bekerja sebagai wanita murahan. Dan kenapa kamu memanfaatkan kepergian saya dari rumah untuk mengajak klien kamu ke rumah saya? Kenapa tidak ke hotel atau-"
"SAYA BUKAN PEREMPUAN MURAHAN! JADI STOP BILANG YANG NGGAK-NGGAK, KARENA OMONGAN OM ITU NGGAK ADA YANG BENAR," sela Maya sambil menunjuk wajah Galih.
"Benar-benar tidak punya sopan santun kamu! Berani-beraninya berteriak sambil menunjuk wajah saya, Harun benar-benar tak bisa mengajari kamu. Setelah ini, saya tidak ingin melihat kamu ada di rumah saya lagi. Saya tidak sudi menampung perempuan murahan seperti kamu!" Setelah mengatakan itu, Galih pergi begitu saja meninggalkan mereka.
Maya menatap ke arah Dina-mamanya-yang sedari tadi hanya menatapnya, tanpa bersuara. "Kenapa Mama diam aja? Aku dihina dan dituduh yang nggak-nggak di depan Mama, kenapa Mama nggak belain aku, huh? Apa Mama nggak percaya aku?" tanyanya dengan air mata yang menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The One
General FictionPindah ke Cabaca "Jangan pernah bilang jika hidup lo nggak ada gunanya, karena setiap detik hidup lo selalu berguna, May." Mendengar itu, Maya mengalihkan pandangannya pada Aby. Dari sekian banyak orang yang ditemui, ketika ia mengeluh hidupnya tak...