"LULA TADI HEBAT BANGET!"
Karin berseru sambil bertepuk tangan.
"Iya, kenapa bisa tenang gitu sih, La. Gue aja udah gemeteran. Khawatir mereka bakal ngapa-ngapain kita!" tambah Fika.
"Iya tuh, apalagi Citra. Hiii...." Dewi menimpali.
Mereka berempat baru saja kembali dari rapat singkat dengan para anggota Satki di basecamp baru mereka alias basecamp lama Cava dan kini sedang berjalan menuju kelas karena jam istirahat sudah selesai. Lula dan Dewi berjalan paling depan, sedangkan Fika dan Karin di belakang mereka.
Keempat cewek itu akhirnya sampai di depan kelas XI IPA 1, kelas Dewi dan Karin. Lula menghela napas panjang dan menatap sahabatnya satu-persatu. "Nggak, mereka nggak bakalan ngapa-ngapain kita. Kalau emang berani, kita kan tinggal laporin aja ke guru."
Ketiga temannya mengangguk serempak. Mereka percaya pada Lula bahwa ketua klub mereka itu bisa diandalkan. Padahal Lula hanya berusaha terlihat tenang di depan teman-temannya. Cewek itu mati-matian menutupi rasa gugupnya saat menghadapi Nuga. Tangannya juga gemetaran saat menyodorkan map ke Nuga. Bahkan tadi wajahnya sempat memanas saat cowok itu menatapnya tajam dari jarak yang sangat dekat. Kalau saja dia tidak berusaha keras menguasai diri, mungkin tadi dia sudah pingsan di depan cowok itu. Dan itu memalukan.
"Menurut kalian, apa mereka bakal diam aja?" tanya Dewi khawatir.
"Aku nggak yakin sih, gimana nih, La?" Fika memandang Lula yang sedang bermain ponsel.
Lula mendongak untuk menjawab pertanyaan Fika. "Nggak usah dipikirin. Sekarang yang penting kita udah punya sanggar sendiri. Jadi, kita nggak perlu lagi latihan di kelas."
Ketiga sahabatnya saling berpandangan. Namun seperti biasanya, in Lula they trust. Ketua klub Satki itu sudah melakukan yang terbaik untuk mereka.
Auditorium tempat mereka biasanya berlatih sedang tidak bisa digunakan. Beberapa waktu lalu, sempat ada satu kasus di SMA LV yang membuat seluruh sekolah gempar. Gosip tentang hantu cewek yang bergentayangan di auditorium akhirnya terkuak kebenarannya. Di tahun 2012 pernah ada siswa bunuh diri di gedung auditorium tersebut. Kejadian itu membuat murid-murid ketakutan dan tidak ada satu orang pun yang berani menginjak gedung auditorium lagi. Begitu juga dengan klub tari yang diketuai Lula. Apalagi ketika pihak kepolisian melakukan penyelidikan ulang kasus tersebut dan menutup sementara auditorium.
Klub-klub yang biasa berlatih di auditorium akhirnya berebut mengisi jadwal untuk menggunakan lapangan tengah. Lula bahkan sempat mengikuti rapat klub dan sayangnya klub tari tidak kebagian jadwal. Karin bahkan sampai ribut dengan Syanas, ketua cheerleader karena berebut jadwal.
Lula tak bisa tinggal diam, apalagi tak lama lagi mereka harus melakukan pementasan untuk malam donasi. Mereka segera butuh tempat berlatih secara permanen. Karena mereka belum tahu sampai kapan auditorium akan ditutup.
Lula pun akhirnya terpaksa menggunakan kelas untuk berlatih dengan timnya. Sebenarnya tidak ada masalah bagi mereka berlatih di kelas. Hanya saja, mereka jadi lebih capek. Karena harus menata kelas sebelum latihan, dan mengembalikannya seperti semula setelah latihan. Waktu latihan mereka juga jadi berkurang. Sedangkan Lula harus pulang tepat waktu sampai di rumah, sehingga waktu latihan yang efektif sangat penting bagi Lula.
Kemudian saat Lula berkonsultasi pada Kak Maurin, kakak kelas yang juga mantan ketua klub tari sebelum Lula itu menceritakan tentang masalah amfiteater yang pernah diperebutkan oleh klub tari dan klub capoeira tiga tahun yang lalu. Lula akhirnya mengurus itu semua demi klubnya.
Namun, sebenarnya ada alasan lain yang membuat Lula akhirnya semakin berani mengambil keputusan untuk mengklaim basecamp Cava selain karena mereka kehilangan tempat berlatih. Semuanya gara-gara kejadian yang dia lihat suatu sore di sekolah. Kejadian yang tidak boleh terulang karena Lula sangat menyayangi sahabatnya, Dewi.
"Ingat, mulai sekarang, nggak ada yang boleh pulang latihan sendirian. Kita harus saling tunggu. Minimal berdua. Jangan sendirian. Oke?" Lula menatap sahabat-sahabatnya satu persatu. Lalu tatapan matanya berhenti lebih lama ke arah Dewi. "Terutama lo, ya Dew," ucap Lula sambil menepuk bahu Dewi.
Dewi mengangguk pelan, mata cewek itu berkaca-kaca. "Makasih, ya La. Berkat lo," ucapnya. Cewek berkucir kuda itu refleks memeluk Lula, dan diikuti oleh Fika dan Karin. Mereka berempat berpelukan sambil meloncat-loncat.
Lula melepas pelukan mereka dan mengajak tos. Empat cewek itu merapat, membentuk lingkaran kecil. Lula mengulurkan tangannya lebih dulu ke tengah, disambut oleh Fika, Dewi dan terakhir Karin. Seperti ritual penyemangat yang biasanya mereka lakukan sebelum pentas.
"Satya Kinanti!" Lula berseru menyebutkan nama klub kebanggaannya.
"Satki do, Satki best, Satki do the best!" balas Fika, Karin dan Dewi.
Kemudian mereka berempat bersorak. Tidak peduli dengan anak-anak yang berlalu lalang sampai menoleh ke arah mereka.
Tak lama kemudian bel tanda jam istirahat telah usai berdering. Keempat cewek itu membubarkan diri. Lula dan Fika berpisah dengan Karin dan Dewi untuk menuju ke kelasnya di XI IPA 3.
Sampai di depan kelasnya, Lula memelankankan langkahnya karena melihat sosok Nuga yang sedang berdiri, bersandar di pintu kelas XI IPA 5 yang letaknya sejajar dengan kelas Lula, sambil menatap ke arahnya. Tidak seperti tadi pagi, kali ini Lula merasa nyalinya menciut ditatap Nuga dengan tajam seperti itu dari kejauhan. Cowok itu seolah-olah ingin menerkamnya.
Dengan cepat Lula menunduk dan segera masuk ke kelas. Cewek itu berpikir, jangan-jangan Nuga benar-benar menganggap dirinya sengaja cari masalah. Semoga saja tidak. Karena sesungguhnya ini semua Lula lakukan demi kebaikan Satki dan sahabat-sahabatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BASECAMP
Teen FictionBasecamp Klub Capoeira SMA Lentera Victoria diambil alih! Nuga, si Ketua Klub, tentu saja tidak terima. Apalagi basecamp itu adalah buah perjuangannya mempertahankan klub yang pernah terancam dibubarkan karena kekurangan anggota. Bagaimana jika te...