7 - Penguntit

650 52 0
                                    

H A P P Y
R E A D I N G

*****

"Re, gue harap lo bisa bantu," ujar Zura setelah membicarakan hal penting cukup lama.

Regan melirik sebentar, lalu kembali fokus menyetir. "Bisa, tapi harus banget gue pindah?" tanyanya.

"Iya, kalo gak pindah gue susah. Gue udah berbulan-bulan gak masuk sekolah, gue juga dikenal antagonis. Gue takut sendirian, gue gak mau trauma itu balik lagi, trauma yang bakal bikin gue tantrum."

"Minggu depan gue ada lomba di negara sebelah, gue pindahnya pas semester genap sekalian, ya?" Regan tersenyum kecil. "Lo kenapa minta tolong sama gue yang notebenenya orang asing? Kita kenal pun karena orang suruhan gue nyulik lo. Lo percaya sama gue?" lanjut Regan bertanya.

'Gue kenal lo, Re.' Zura membatin.

Regan melirik Zura yang terdiam dari ujung matanya. "Gue bukan orang baik, gue juga temperamen. Suka melampiaskan emosi dengan menyiksa orang lain, bahkan gue pernah membunuh orang hanya karena masalah sepele. Lo tau kan, itu tindak kriminal?"

"Jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal, terkadang penghianat adalah orang yang paling kita percaya. Menusuk dari belakang itu hal yang biasa, tapi pura-pura bekerjasama lalu memberi bom dahsyat itu rencana yang ada di otak kriminal kayak gue. Gue takut suatu saat nanti terpaksa mengkhianati lo karena seseorang."

Zura hanya diam mendengarkan, setelah merasa mulut Regan tak lagi berucap, Zura menatap wajah laki-laki itu dengan senyum tipis. "Lo cerita tentang diri lo sendiri sama gue, itu berarti lo juga percaya sama gue. Walaupun gue mudah percaya sama orang, gue juga selalu waspada. Karena kewaspadaan adalah sikap paling utama untuk menjamin keselamatan diri sendiri."

Regan membeku, kalimat terakhir Zura terus terngiang bagai kaset rusak yang terus berjalan. Kalimat yang selama ini ia tanamkan dalam hidupnya, kalimat dari seseorang yang sangat ia segani. Kenapa Zura mengucapkan kalimat itu...?

"Alasan lo melakukan itu semua pasti ada hubungannya dengan kehilangan seseorang yang sangat berharga. Sebuah rasa kecewa yang sangat mendalam atau sebuah rasa menyesal itu mampu merubah sudut pandang kita terhadap dunia. Mungkin saat orang itu masih ada disisi kita, kita dikenal sebagai orang bodoh karena dunia kita hanya berpusat pada orang itu saja. Namun.." Zura menjeda ucapannya.

"Ketika orang itu pergi dari hidup kita, sisi yang selama ini tak terlihat bisa saja muncul karena perasaan yang kita rasakan. Rasa penyesalan dan kecewa yang begitu besar bisa saja meletus bagai sebuah gunung yang menyimpan ketakutan untuk orang lain. Itulah pentingnya mengikhlaskan. Menghadirkan orang baru bukan berarti kita seorang pengkhianat, tapi kodratnya manusia adalah membutuhkan orang baru agar bisa melupakan masa lalu."

Regan terdiam, ia mematung mendengar setiap lontaran kata dari Zura. Ia melirik Zura yang kini menatap jendela. 'Nasihat itu bahkan sama. Siapa Zura sebenarnya?' batinnya merasa janggal.

***

"Mau mampir?" tawar Zura sebelum membuka pintu mobil Regan.

Regan melirik lalu mengangguk. "Boleh, sekalian ketemu calon mantu." ujarnya seraya tertawa.

"Mertua kali," ralat Zura sinis.

ZU(I)RA [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang