02. Seorang Lakon di Balik Kisahnya

65 15 4
                                    


Jangan lupa vote sebelum baca. Selamat bersemestaa <3
.

            Aroma lezat makanan tercium jelas melalui penghidu Narajengga, tepat setelah langkah pertamanya memasuki rumah, pemuda tersebut berjalan menuju ruang makan. Ia mendapati sang kakak yang tengah memakai celemek tengah mengaduk sop yang mengepul. Dengan beberapa makanan yang sudah tersaji di atas meja, Jengga menarik kursi untuk duduk mengamati punggung kakaknya.

"Tumben pulang cepet, Ngga. Sudah selesai meeting-nya?" tanya sang kakak, tanpa berbalik.

Jengga menuangkan air dan menegukkan sampai tandas, "Dibanding rapat, kesannya tadi malah nongkrong sambil ngopi, tapi minim budget."

"Ya, tapi mereka paham, kan? Nggak maksa lagi kayak biasanya? Ingat skripsimu, Narajengga. Meskipun ini kuliah pakai uangmu sendiri, tapi jangan justru kamu yang lembek dan ngeremehin."

"Iya, iya. Aku juga paham kali, gimana sulitnya mas Angkasa dulu biayain kuliah aku."

Angkasa tersenyum simpul, ia membawa satu panci dengan sup ayam yang tengah mengepul itu sedikit kepayahan. Bernapas lega sejenak, seraya melepas dua sarung tangan tebalnya, pemuda tersebut mengusak puncak kepala Narajengga.

"Nah, kan tau gimana susahnya cari uang. Makanya, biaya kuliah yang kamu pakai sekarang, bisa kamu pakai untuk keperluan lain. Nyesel, kan, jadinya. Jadi, jangan nambah-nambah semester lagi."

Sebelum memasuki perkuliahan, Angkasa membuat sebuah perjanjian dengan Narajengga. Yakni dia akan membiayai kuliah Narajengga, tetapi hanya sampai 4 tahun saja. Selebihnya, Narajengga mau tidak mau harus membiayai kuliahnya sendiri. Sebenarnya itu bermaksud untuk mendidik Jengga agar dia tidak terlalu hidup enak selama ini. Pun supaya semangat belajarnya tidak kendor dengan satu tekanan itu. Namun, hal-hal di luar perkiraan memang terjadi. Semakin lama, nama Narajengga sebagai podcaster melambung naik, dia mendapat cukup banyak pemasukan pun kesibukan, berimbas terhadap skripsinya yang tak bisa diselesaikan.

"Padahal tujuanku ambil sastra itu biar gampang lulusnya, ternyata kuliah apapun tetap sama aja." Narajengga bergumam, seraya menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam piringnya.

Gumaman tersebut terdengar Angkasa, berbeda dengan Narajengga, dia hanya memakan sup saja tanpa nasi. Lebih asyik melihat sang adik yang makan dengan lahap.

"Apapun itu, nggak ada yang mudah, Jengga. Namanya juga hidup, jadi mau nggak mau, kamu harus tetap usaha. Yang kelihatan sempurna, ya cuma dari tampak luarnya saja."

Narajengga hanya diam seraya melirik piring Angkasa yang tak tersentuh. Kakaknya hanya makan sedikit, berbanding terbalik dengan makanan yang dia masak cukup banyak. Pandangan Narajengga jatuh pada wajah Angkasa. Ada gurat-gurat halus di matanya, pun bintik hitam samar yang berada di bawah mata Angkasa, lalu kulit sang kakak yang terlihat menggelap.

Jengga tidak pikir panjang. Diambilnya piring untuk Angkasa dan dimasukkan begitu banyak nasi di dalamnya. Di susul lauk pauk tak kalah banyak, lalu menyodorkannya untuk Angkasa.

"Makan yang banyak, Mas."

"Ngga, Mas makan nanti sa―"

"Nantinya kapan?" Jengga menatap malas, "Lihat badannya Mas Angkasa udah makin kurus. Kerjaan Mas juga makin banyak, kalau nggak makan terus sakit, siapa yang bakalan lanjutin usaha Mama sama Papa?"

Ucapan tersebut menusuk bagi Angkasa. Kepala kakaknya itu menunduk dalam, Jengga tahu bahwa ini terkesan kurang ajar. Namun semakin berjalannya waktu, semakin mereka berdua tenggelam dalam rutinitas dan kesibukannya, kehangatan yang dulu senantiasa ada bersama mereka rasa-rasanya memudar, tepat setelah Mama dan Papa meninggal.

Merekah BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang