2

224 47 7
                                    

Melihat mereka saling tatap dengan ekspresi aneh, aku langsung tegur suamiku. 

"Pah, kok malah bengong, sih." 
"E, e, iya, kirain nggak ada tamu," jawabnya cengar-cengir tak jelas, sebelum akhirnya berlalu dari kios setelah menerima kunci. 

Pandanganku beralih pada perempuan cantik yang baru saja memecahkan cangkirku. "Kenapa Dek, kok segitu kagetnya lihat suami saya." 

Dia mendadak seperti orang linglung, "saya cuma kaget, sekaligus tak sangka suami Mbak kok mirip sekali sua ... maksud saya mantan suami saya, cuma beda di anu ... mantan saya lebih muda, suami Mbak sudah ubanan dan banyak kerutan, perutnya juga buncit sementara Suami saya tidak. Maafkan saya pecahin cangkirnya ya, Mbak, saya kaget." 

Aku manggut manggut mengerti setelah dia menjelaskan panjang lebar. "Jadi gimana Dek, mau depe sekarang?" tanyaku mengalihkan ekspresinya yang kembali murung. 

Dia menatapku lekat, lama sekali. Aku kembali bingung dan mulai bosan bolak-balik bingung. Tiba-tiba dia menangis tersedu. Bahunya sampai terguncang-guncang karena sesegukan. kemudian dia menutupi wajah dengan telapak tangannya. Mau tak mau aku bingung lagi. 

"Lho kok Adek nangis lagi," kataku terbawa sedih. 

   Dia tidak menjawab cuma mengangkat sebelah tangannya, seolah ingin bicara, sebentar Mbak saya nggak bisa ngomong. Aku coba memahami saja dan mengusap punggungnya untuk sekadar menenangkan dia. Melihat air mata sederas itu, dan sampai sesegukan, pasti sesuatu menyesakan dadanya, sampai-sampai untuk bicara saja tak sanggup —- tentu merontokan hati yang melihatnya. Kesedihannya sangat dalam, karena dia betul-betul terlihat tidak berdaya, lemah dan sangat rapuh. Saking terhanyutnya aku sampai berbisik dalam hati, 'Ya Allah kuatkanlah hati Adek ini, tegarkan jiwanya, lapangkan dadanya menerima ikhlas.' 

Krossssak gedebug! 

Tiba-tiba suara gaduh dari samping kios membuyarkan doaku.  "Siapa disitu? Papah, ya?" 

"Iya, nih, Mah, siapa, sih, yang naruh kayu sembarangan, Papah kan jadi terantuk," teriak Suamiku menjawab tanpa menampakan wajah. 

"Loh, katanya mau pergi, kok masih di situ?" seruku lagi. 
"Iya, ini juga mau pergi." 
"Oke, hati-hati ya, Pah." 
"Oke, Mah." 

Setelah itu aku cuma mendengar langkah kakinya menjauh. 
"Maaf, ya, Dek," kataku tak enak, karena telah membuat percakapan gaduh tadi. Perempuan cantik itu mengangguk anggun.  

Tiba-tiba air mukanya perlahan berubah. Muramnya dia tanggalkan, sekarang yang ada hanya tatapan tajam dan keras, sekeras dia menyeka air mata di pipinya. Begitu kerasnya, aku takut pipi mulusnya lecet. Lalu, dengan tegas, eh, tapi agak marah sih, jika kuperhatikan nadanya.

Dia bilang, "Saya harus kuat, kan, Mbak, nggak boleh lemah. Oke, saya mantap ambil kios ini!" 
Tangannya merogoh tas. Dikeluarkannya beberapa lembaran uang kertas dari dompet warna abu-abu miliknya, "Ini Mbak depe-nya, dua hari lagi saya lunasi, pas, saya masuk," katanya tegas sambil menyerahkan uang. 

Tak ada lagi air mata. Atau wajah yang murung, berganti wajah yang berapi-api. Mungkin tekadnya sudah bulat untuk menyambut lembaran baru hidupnya. Tapi, saking semangatnya malah agak kebablasan, jadi seperti wajah penuh kemarahan. 

"Iya, Dek, semoga berkah, ya. Sebentar, saya bikinkan kuitansi," kataku. 
"Tidak usah Mbak, saya percaya sama Mbak, besok saja pas saya masuk, sekalian dengan pelunasan." 

"Oh gitu, baiklah Dek." 
"Saya pamit, ya, Mbak. Saya mau siapkan perang mulai malam ini?" 

"Perang?" tanyaku tak mengerti. 

"Iya, mbak, mulai sekarang saya harus berperang melawan kesedihan dan move on!" serunya.  

Kaget juga aku melihat semangat menggebunya sampai membuat suaranya nyaris berteriak seperti itu. "Harus Dek, harus bisa!" jawabku ikut semangat. 

"Terimaksih dukungannya Mbak, saya pamit dulu," pungkasnya sambil memasukan kembali dompetnya. Sesuatu melayang sebelum dompetnya masuk. Seperti selembar pas foto. 

"Itu suaminya, Dek, coba lihat seberapa mirip sama suami saya, sih." 

Dia buru-buru pungut lembar serupa pas foto itu. 
"Ah, sudah nggak penting lagi, nggak mirip-mirip amat seperti yang Mbak duga kok, saya saja yang lagi kacau," katanya seperti terburu-buru. Aku hanya mengangguk mengerti, lalu mengantarnya ke sisi trotoar, di mana motornya terparkir. 

Ketika tubuhnya menghilang, giliran aku sekarang yang penasaran dengan gambar itu. Entah lah, sepertinya aku merasa pernah melihatnya di mana, begitu. Tapi buru-buru aku tepis pikiran aneh-aneh itu. Lagi pula, aku cuma melihat sekilas gambar serupa pas foto itu. 

***

Ramaikan dong. He he.

DEK AYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang