10

148 42 18
                                    

Dek Aya kelihatan mantap berjalan tanpa kehilangan gemulainya. Bahunya tegak, dagunya diangkat, dia melenggang seperti geboy maung kata orang sunda, atau orang Jawa bilang macan luwe. Padahal baru lima menit lalu dia mewek. Tapi lihat sekarang, dia adalah Srikandi. Senjatanya memang bukan panah; cuma kacamata gelap, dan tekad yang membaja, apes-apesnya, jika tekadnya tiba-tiba melorot, setidaknya dia masih punya tameng kacamata. Berjaga-jaga, siapa tahu air matanya tumpah lagi.

"Kok lama sekali Mbak Gayatri, kita sudah kelaparan lho ini, ya nggak Zhenk?' seru Heny ketika melihat kami muncul.

Hah, Zhenk? Dia manggil tunangannya Seng? Kalau pun dia tak sanggup beli genteng, bagusan asbes kemana-mana. Ini malah seng ck, ck.

"Kita bungkus saja Hen," jawab si Seng pelan. Wajahnya tertunduk menatap layar ponsel yang hanya digeser-geser. Ia membuat barisan aplikasi itu cuma mondar-mandir tanpa kepastian.

"Maaf saya sakit perut tadi, saya buatkan segera."

Bohong sih, tapi metafor yang bagus juga menurutku.

"Saya satu juga Dek Aya," pintaku. Aku harus makan juga lah, dari pada kelihatan aneh nimbrung di sini, ya, kan? Meskipun hati menjerit membayangkan timbangan.

"Iya Mbak."

"Jangan salah paham lho Mbak Gayatri, kita cuma berniat menjalin silaturahmi, nggak ada maksud apa-apa," tutur Heny.

Sementara itu si Seng makin kencang menggeser-geser layar menu utama.

"Iya saya paham, sangat paham. Mbak Heny nggak usah khawatir."

Suara Dek Aya lembut, tapi aku terbelalak melihat tangannya menaruh satu sendok teh muncung garam, di salah satu mangkok. Aku cepat-cepat berdehem. Takut juga mangkukku diberi garam segitu banyaknya. Untunglah itu tidak terjadi. Tapi aku tetap perhatikan kemana mangkuk itu disajikan. Jika ke mejaku, jelas tak akan kusentuh satu suap pun. Wow ternyata mangkuk itu di hadiahkan pada Heny. Hampir tak mampu kusembunyikan senyum ku yang paling ngiblis.
Astagfirullah.

"Dek Aya kemudian menyajikan dua gelas air bening untuk ku dan Heny, serta satu teh nasgitel andalannya pada Mas Ruly Seng. Setelah itu, dek Aya mengambil posisi duduknya dengan satu meja dengan ku.

"Maaf Mbak Gayatri, sekarang minumnya Mas Ruly selalu air putih kalau sedang makan."

"Sudah tak apa, ini bagus. Cuaca malam ini cukup dingin," serobot Mas Ruly buru-buru.

Melihat wajah kurang sreg Heny, Dek Aya saat itu juga menyajikan segelas air putih untuk si Seng.
Mereka kemudian mulai sibuk dengan sajian di atas mejanya. Kecuali Mas Ruly yang masih begitu menikmati teh nasgitelnya. Beberapa kali hidungnya seperti menghirup wangi teh melati sebelum menyesapnya dengan mata terpejam. Aroma teh terseduh air panas itu memang kuat, bahkan aku sampai seperti merasa menyicipinya juga.

"Wah Mbak Gayatri pengin kawin ya, agak asin soto saya kali ini."

Aku nyaris tersedak, tapi kok ya sempat-sempatya bilang, "Iya benar itu, sama duda ganteng. Ganteng banget malah, seperti Doni Damara."

Lha malah Si Seng yang ujug-ujug tersedak, ia terbatuk-batuk sampai matanya merah.

"Aduh pelan-pelan dong Zhenk, minum air putihnya coba," ujar Heny seraya mengusap pelan punggungnya.

Dek Aya langsung mengalihkan pandangan dengan kasar ke arahku, sedetik setelah ia melihat Heny mengusap tunangannya. Aku bisa melihat matanya mulai menahan tidak mengerjap. Cuping hidung dan garis bibirnya juga mulai membuat gerakan aneh. Dia pasti mau menangis lagi. Cepat-cepat aku melotot tegas ke arahnya. Lalu kukatakan kepadanya tanpa suara, hanya gerakan bibir. 'Ingat M O N Y E T!' Dek Aya pun terpejam. Kemudian menarik nafas panjang.

DEK AYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang