Jadi seperti itu lah kejadiannya. Tanpa bisa dihindari, akhirnya dek Aya sepakat menjenguk Abahnya Mas Ruly dengan syarat aku diperkenankan ikut, dan Mas Ruly ternyata tidak keberatan sama sekali. Aku lah yang sebenarnya keberatan ikut. Bukan apa-apa, merasa tidak enak saja harus masuk terlalu jauh ke urusan pribadi mereka, meskipun aku kepo juga. Tapi dek Aya memaksa. Dia merasa tenang jika aku ikut bersamanya. Lagi pula, setelah dipikir-pikir ulang, kalau aku tidak ikut, siapa coba yang bisa ceritain sama kalian nanti, hayo. Kalau masalah kepo sih bisa lah ditekan, aku kan sudah pertengahan tiga puluhan, sudah dewasa untuk menentukan bagaimana seharusnya bersikap dewasa. Begono ... Silakan mari mari yang mau muntah.
Disepakati aku dan Dek Aya akan menjenguk keesokan harinya pukul sembilan pagi. Tadinya Mas Ruly ingin sore itu juga, hanya, Juminten yang biasa membantu Dek Aya aplusan jaga kios, tak bisa dihubungi. Ya, sudah akhirnya diputuskan esok paginya. Lagi pula Dek Aya perlu mempersiapkan mental bertemu mantan mertuanya, ya, kan? Ketemu mantan suaminya saja dia kikuk tak habis-habis, apalagi mau langsung pergi berduaan.
Keesokan harinya.
Kami menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah pendek-pendek dan diupayqkqn setenang mungkin. Raut wajah dek Aya juga lebih santai dibanding kemarin sore. Wajahnya tampak segar berbalut kerudung warna peach selby, juga jumpsuit over all berbahan denim warna biru tua dengan lapisan dalam kaos putih. Jadi kelihatan modis dan lebih muda dari umurnya. Hmmm, aku jadi curiga.Begitu sampai di ruang perawatan VIP, seorang pria renta terbaring lemah dengan infus serta selang oksigen. Matanya sayu. Tapi begitu melihat Dek Aya, matanya langsung bercahaya dan juga senyumnya yang mengembang sempurna, melukis garis-garis kerut di wajahnya yang memancarkan kewibawaan.
“Gayatri anak ku, kemari nak, abah rindu,” sapanya seraya menjulurkan lengan ke depan.Dek Aya mempercepat langkah untuk mendekat ke tempat tidurnya, “Abah, Aya ngga suka Abah di sini, cepat sembuh, cepat lah pulang.”
Dek Aya meraih tangan kanan orang tua yang dipanggilnya Abah itu, lalu mencium punggung tanggannya berkali-kali. Amat takzim. Dek Aya bahkan tidak dapat membendung air matanya. Aku menjadi tahu kalau Dek Aya punya hubungan dekat dan hangat dengan mantan mertuanya. Ia tidak terlihat dibuat-buat. Dek Aya bahkan tidak sungkan merajuk kepada mantan mertuanya itu, karena telah abai menjaga kesehatannya. Mertuanya juga tampak sayang sekali kepadanya, terlihat dari caranya mengelus lembut kepala dek Aya sampai berkali-kali.“Sudah tidak usah khawatir Abah cuma kecapaian, kemarin habis bedah balong ada orang yang mau hajatan jadi ikan Abah diborong,” (menguras kolam dengan maksud mengambil ikannya)
“Lho, Mas Saman memangnya kemana?”
“Istrinya kan melahirkan, jadi tidak bisa bantu Abah. Sudah lah, dokter bilang juga Abah cuma kelelahan. Kamu kok tidak pernah mampir ke rumah Nak, padahal Abah rindu dibuatkan sotomu itu.”
Dek Aya mendadak mendelik tajam ke arah Mas
Rully. Ada hal yang dipertanyakan di dalam sorot mata Dek Aya. Sementara Mas Ruly hanya menggaruk kepalanya dan tertunduk.“Abah ingin soto ya, biar Aya carikan sekitar sini saja kalau begitu,” ujarnya sambil beringsut dari kursi.
“Tidak tidak Nak, Abah barusan sudah sarapan. Maksud Abah nanti kalau Abah sudah diperbolehkan pulang.”
“Oh kalau begitu, biar nanti Aya titipkan Mas Ruly. Sekarang Aya sudah buka so ...,”
Belum selesai Dek Aya bicara, Mas Ruly langsung menyambar, “Abah sudah minum obat?”