8

136 42 7
                                    

Tergopoh Dek Aya menghampiriku yang sedang menikmati semangkuk bakso dari penjaja gerobak yang biasa lewat tiap sore. Udaranya segar, matahari juga teduh dengan warna keemasan menjelang senja. Tapi wajah Dek Aya tidak seteduh sore ini. 

"Mbak tolong saya, itu—-." ucapnya tergagap. Dia bicara antara berbisik juga histeris. 

"Ada apa, dek Aya?" jawab ku dan segera menaruh mangkok. 

"Itu perempuan yang sedang makan soto di tempat saya, anu—-" nafasnya tersengal, Dek Aya seperti kesulitan meneruskan kalimatnya. 

"Tenang sedikit Dek. Perempuan siapa yang sedang makan soto di tempatmu?" 

Dek Aya menarik napas panjang, lalu secepat kilat meneguk air mineral di gelasku. Aku cuma melongo. Dek Aya bukan tipe perempuan ngasal setahuku. Jadi dia menyambar minumanku pasti karena saking gugupnya. 

"Ya ampun maaf Mbak, kenapa tangan saya refleks serobot gelas Mbak ya?" 

Nah, kan apa kubilang. 

"Nggak papa, siapa perempuan itu?" 

"Wah kacau, dia mengaku tunangannya Mas Ruly. Dada saya langsung seperti terbakar begini Mbak. Saya harus bagaimana, Mbak?" 

Mas Ruly itu mantan suami Dek Aya seingatku. 

"Kok bisa dia ke sini, mau apa?" 
"Dia mau jenguk temannya ke Rumah Sakit Zedina. Itu yang dekat situ. Dia mungkin kelaparan habis pulang kantor, jadi mampir makan dulu. Kok ya ndilalah ke kios saya. Yungalah .. kenapa gak ke lotek Bude Tati, malah lebih dekat ke Rumah sakit. Kok ya, ke sini itu lho." 
Nada Dek Aya berkecepatan tinggi dengan ekspresi sangat gelisah. 

"Lho kok dia tahu Dek Aya mantan istri tunangannya?" 
"Lho ya nggak tahu, wong dia seperti mengamati, terus bilang gini, 'mbak kamu namanya Gayatri ya?' aku  main ngangguk saja. Terus dia terbahak tak percaya gitu, 'ya ampun dunia sempit sekali, saya kok bisa ketemu mantan istri tunangan saya.' gitu katanya. Aku mak tratap rasanya, Mbak, langsung rasanya itu, nggak karuan. Kutinggal saja dia ketika makan, terus ke sini. Aku mesti gimana ini Mbak." 

Dek Aya sampai kacau berkalimat. Baru kali ini dia menyebut dirinya aku, bukan saya lagi. Begini toh kalau orang sedang kalut. Baru tahu aku. 

"Dek Aya yang tenang, jangan perlihatkan ke kalutanmu. Santai saja seperti tak berpengaruh apapun. Tak peduli perempuan itu mau bilang apa." 
"Terus?" 

"Ya sudah begitu." 
"Oke." 

Dek Aya beringsut lalu berjalan cepat kembali ke kios. Tapi belum sampai dia sudah balik badan dan berjalan cepat ke arahku lagi. 

"Tapi Mbak, mending Mbak temani saya, deh. Nanti pura-pura mau makan soto gitu."
 
"Lho saya kan sedang makan bakso." Dek Aya terdiam beberapa saat. 

"Ya sudah bawa saja mangkuk baksonya, pura-pura minta kecap atau apa, ayolah Mbak tolong saya." Giliran aku terdiam menimbang. "Mbak?" 

"Iya, iya nanti saya nyusul," jawabku, tak tega juga lihat tampang memelasnya. 

"Ah sekarang saja, nanti Mbak berubah pikiran, repot saya." 

Ya, Rabb. Aku terpaksa berdiri membawa mangkuk bakso dan menyusul beberapa langkah di belakangnya. Dua kali kepalanya menoleh ke belakang, seolah dia takut kehilangan jejakku. 

DEK AYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang