Rainy Rusady
Kami berlari menghindari para zombie kelaparan. Pria itu sesekali menembak kepala zombie agar tak menghalangi pelarian kami. Tiba-tiba, salah satu zombie menarik tanganku dari belakang hingga langkahku terhenti.
"Help me!" pekikku.
Pria bertubuh atletis dengan wajah tertutup helm itu pun menoleh. Dia bergerak cepat dan memukul kepala zombie dengan handle machine gun yang dibawanya.
"Shit!" pekiknya.
Kami kembali berlari menghindari para zombie. Pelarian kami tiba di sebuah gang. Pria itu memberikan sebuah handgun yang dia ambil dari pahanya.
"This for you!" ucapnya seraya memberikanku handgun itu.
Aku mengambilnya. Tidak enak jika menolaknya. Lagi pula kami memang membutuhkan handgun itu. kami kembali berjalan hingga memasuki sebuah ruangan. Sebuah ruangan sempit berukuran 4x4 meter. Ruangan ini terdapat seperangkat komputer, lemari besi dan beberapa alat komunikasi. Nampaknya, ruangan ini adalah basecamp pria berpakaian serba hitam itu.
Pria itu mencoba menekan-nekan beberapa titik di helm-nya sepertinya dia melakukan komunikasi dengan rekannya melalui helm canggih itu. tidak ada yang istimewa dari helm itu. Hanya seperti helm hitam dengan kaca penutup wajah berwarna hitam. Tetapi, kurasa di dalam helm itu ada sebuah layar videocall yang bisa terhubung dengan sesama pengguna helm itu. Pengganti handytalky.
Beberapa kali mendesah, pria itu akhirnya bisa terhubung dengan rekannya. Mereka seperti melakukan panggilan video .
"Carter! Are you there?" sapa pria itu dengan rasa khawatir.
Tak ada jawaban. Dia kembali menghubungi rekannya yang lain dengan menekan-nekan sebelah kanan helmnya. Masih tak terhubung. Pria itu tampak cemas. Dia segera bersandar di dinding lalu dia membuka helmnya.
Keringat bercucuran di wajah tampannya. Rambutnya gondrong ikal berwarna kecoklatan itu tampak basah karena terlalu lama memakai helm. Rambut itu ternyata dia ikat di bagian belakang. Dia sangat tampan, aku berdebar hebat. Aku memegangi dadaku yang hanya dilapisi bra berwarna merah. Aku menelan saliva, aku tidak kuat. Dia sangat mirip Kim Taehyung, idolaku.
Tubuhnya tinggi, mungkin lebih tinggi daripada Kim Taehyung yang tingginya hanya 179 cm. Kurasa pria ini tingginya sekitar 185 cm. Dia makai sepatu boot dan berpakaian serba hitam layaknya pasukan khusus. Hidungnya mancung, mata monolid-nya yang sangat menggoda iman.
Benarkah dia kim Taehyung yang terjebak di kota ini? Tidak, tidak mungkin Taehyung bermain-main dengan maian ini. Dia tak mungkin kurang kerjaan seperti diriku. Aku yakin, dia hanya AI yang menduplikat wajah Taehyung. Aku kecewa jika dia memang benar AI.
"Siapa namamu, orang Indonesia?" ucapnya dengan bahasa Inggris yang sangat fasih.
Dia tahu kalau aku orang Indonesia. Padahal aku belum memperkenalkan diri. Aku tersanjung, setidaknya dia tahu kalau aku adalah orang indonesia. Aku juga sekaligus merasa tidak enak, jika benar aku langsung jatuh cinta padanya.
"Rain," jawabku singkat.
"Oh," ucapnya santai.
Dia tidak memperkenalkan dirinya. Baiklah, dia akan kupanggil Taehyung, sebab dia sangat mirip Taehyung. Aku rela terjebak di tempat ini bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Virtual City
Science FictionRainy Rusadi terpilih sebagai salah satu orang diberi kesempatan mengunjungi kota Virtual pertama di dunia secara gratis. Namun, saat baru saja memasuki kota virtual itu ternyata bencana besar menghampirinya. Bencana itu adalah sebuah virus yang mem...