Rainy Rusadi
Masih bersembunyi di bak sampah, sambil sesekali mengintip sekeliling jalan raya yang masih dikuasai para zombie. Mereka berjalan terseok-seok tanpa ada tujuan pasti. Miris, kuperkirakan mereka adalah orang-orang yang terjebak di kota ini selama lima belas jam ke depan di dunia nyata sampai mereka bangun sendiri. Artinya mereka berada di sini selama lima belas minggu dan menjadi zombie. Aku tak tahu bagaimana nasib mereka selanjutnya.
Untuk saat ini, aku hanya memikirkan nasibku dan nasib Hyungsik yang baru kuketahui dia alah mansia biasa, sama sepertiku. Sebelumnya, karena ketampanannya itu, aku sempat mengira dia adalah AI. Aku berencana akan memasuki hotel di seberang jalan, tetapi aku tidak tahu cara untuk ke sana. Zombie buas itu menguasai jalan raya. Mereka berjalan-jalan dan mereka tersebar di berbagai titik jalan. Ada yang di tengah, ada yang di pinggir, dan ada yang berputar-putar. Mereka tampak bingung akan menghabiskan waktu selama lima belas minggu di waktu dunia metaverse.
Sadar waktuku tidak banyak, aku juga tidak membawa senjata selain pisau dapur di kantongku dan helm almarhum Carter yang kutenteng. Akan menyulitkan jika nekat ke sana sambil berlari. Terniat mengelabuhi agar mereka berkumpul di satu titik dan mengebomnya dengan geranat, tetapi masalahnya, aku tidak membawa geranat lagi, aku hanya menyimpan satu dan itu sudah kupergunakan saat terdesak di lapangan basket saat bersama Hyungsik.
Aku berpikir, bagaimana bisa zombie menjadi sebanyak ini? Apa proyek coba-coba peluncuran The Virtual City sudah diikuti ribuan orang? Setahuku dalam informasi di emailku hanya diikuti oleh tujuh puluh orang dari berbagai negara. Namun, setelah melihat jumlah sebanyak ini aku yakin kalau itu lebih dari tujuh puluh orang bahkan mungkin sudah ribuan orang yang menikmati kota menarik ini. Mungkin saja tujuh puluh orang adalah guest saja, selebihnya mereka adalah pengguna berbayar atau pengguna lainnya.
Masih berpikir cara menyeberang jalan menuju St. Peterson Hotel tanpa melawan zombie. Pisau di kantongku ini tidak akan mungkin bisa melawan mereka yang nantinya akan menyerangku bersama-sama. Ya, aku tahu kalau zombie yang kutonton di film, atau dalam video game suka berkerumun dan berebut menyerang mangsa. Kawanan mereka di sini tidak seperti zombie yang kutemukan sebelumnya bersama Hyungsik, tadi kami hanya bertemu zombie satu atau dua, tidak puluhan seperti yang kulihat saat ini.
Senjata saja, rasanya tidak cukup. Harus menggunakan taktik licik seperti menyerang Big Guy. Aku menyerangnya dengan merica, ya aku selalu berpikir jika menyerang dengan merica adalah alternatif yang baik saat tidak ada senjata. Aku selalu berpikir tentang merica sebagai senjata darurat melawan penjahat, tetapi untuk kerumunan zombie seperti ini tidak akan berhasil. Cara lain akan kupikirkan.
Beberapa menit berpikir aku mencoba menganalisa zombie di kota virtual ini. zombie di sini sensitif dengan suara, tetapi mata mereka masih berfungsi mereka tahu mana yang mangsa mana yang bukan. Namun, untuk indera penciuman kurasa tidak berfungsi seperti zombie di film-film. Sebab manusia yang masuk di dunia metaverse ini tidak membawa aroma, bahkan kekurangan seperti jerawat saja tidak dibawa. Bentuk tubuh kita adalah tergambar sesuai dengan memori otak yang mencerna gambaran diri kita sendiri. Teoriku mengatakan kalau mereka tidak akan mencium aroma tubuh. Artinya aku harus ke sana diam-diam menyelinap.
"Arrrghhhh!!!"
"Roar!!"
"Hmmm!!!"
"Kekkk .... Kek ...."
Suara mereka kudengar dengan jelas. Aku berjalan sambil bersembunyi di dalam tong sampah seng yang kuposisikan terbalik. Helm kupakai dengan menaikkan kaca. Aku menutupi tubuhku dengan tong sampah yang kubalik dan kulobangi sedikit dengan pisau untuk melihat ke luar. Lubang itu kecil hanya memuat pandangn mataku agar aku bisa berjalan berangsung-angsur untuk sampai ke hotel. Tubuhku berjongkok sambil jalan pelan lurus menuju hotel St. Peterson.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Virtual City
Science FictionRainy Rusadi terpilih sebagai salah satu orang diberi kesempatan mengunjungi kota Virtual pertama di dunia secara gratis. Namun, saat baru saja memasuki kota virtual itu ternyata bencana besar menghampirinya. Bencana itu adalah sebuah virus yang mem...