Part 2 [

41 4 0
                                    

           Sekeras apapun hati seorang, pasti ada celah untuk melunaknya.
           -DAVINA-

Di ruang kesehatan, Davina mengobati luka di sudut bibir Septian dengan alkohol, namun darah nya tidak berhenti dari tadi membuat teman-temannya Septian was-was, begitu pun dengan Davina.

Sedangkan yang di obati hanya diam sambil memperhatikan wajah Davina dari dekat, bahkan saat kapas bercampur alkohol itu menyentuh kulitnya yang memar tidak ada ringisan apapun dari bibir tipis Septian.

"Ke dokter aja yah? Darahnya gak mau henti, gua takut lo kenapa-napa." bujuk Davina kepada Septian.

Septian diam saja, sebab dari tadi semenjak ia seret dari pertengkaran tadi Septian lebih banyak diam. Davina sudah membujuk untuk pergi ke Rumah Sakit namun hanya gelengan saja yang ia dapat.

Membuat Davina cemas bukan main, "Kita ke Rumah Sakit! Gua gak mau bantahan lagi, liat muka lo udah pucat kek gitu!" ujar Davina langsung bangkit dan menarik tangan Septian namun tidak ada pergerakan apapun dari Septian.

"Ayo cepet! Muka lo udah pucat kek mayat gitu! Gua ga---"

"Sttt! Gua gak mau ke sana. Sini aja temenin gua kepala gua pusing!" ujarnya sambil menarik tangan Davina, Septian langsung rebahan serta mengangkat tubuh Davina supaya duduk di sampingnya dan bisa memeluk pinggang ramping Davina.

Temannya hanya bisa menatap Davina diam, ia juga bingung dengan ini semua, Davina menatap mereka semua, meminta pertolongan untuk membantu Davina membujuk Septian yang keras kepala.

"Septian?! Kita ke rumah sakit aja yah, darah lo gak mau henti, meskipun lukanya dikit tapi u---"

"Gak usah banyak bacot! Gua gak mau! Lo aja sana!" ujar Septian membuat temanya langsung bungkam dan mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah.

Davina menghela napas kasar, ia mengusap tangan Septian lembut, "Kalau lo gak mau di obatin gimana? Darah lo gak mau henti, lo mau kenapa-napa? Ayolah nurut sama gua, plis!" mohon Davina. Septian masih diem aja  dia nyaman di perlakukan seperti ini, "Gua mau turutin lo, asalkan nanti temenin gua main basket dan nanti pulang sekolah lo harus ikut balik ke rumah gua!" ujar Septian.

"Okh nanti gua temenin, sekarang ayo kita ke Rumah Sakit." ujar Davina.

Temannya Septian salut terhadap Davina, ia bisa meluluhkan hati Septian yang keras dengan senyuman yang mengembang, teman-teman nya langsung pergi ke parkiran untuk mengambil mobil milik Davina dan mengendarai menuju Rumah Sakit.

Namun saat di jalan, Septian tidak sadarkan diri dengan wajah yang pucat pasi, membuat Davina berserta kedua temannya itu panik bukan main.

Saat sampai di loby rumah sakit, Davina berteriak kencang memanggil dokter pribadi nya Septian, dengan segera Septian di bawa ke ruangan khusus milik Septian jika di rawat.

"Vina?! Apa perlu kita hubungi nyokap dan bokap nya Septian? Gua takut Septian kenapa-napa?" ujar Bastian.

"Kita tunggu dulu kabar dari Dokter, kalau udah ada kabar dari Dokter tentang keadaan Septian lo boleh hubungi orang tua Septian." sahut Davina.

Mereka semuanya terdiam, hingga beberapa menit kemudian, suara pintu terbuka membuat atensi ketiga manusia itu teralihkan.

"Dok?! Gimana keadaanya Septian?" tanya Bastian yang langsung bangkit dari duduk tenang nya.

"Tuan Alex dan nyonya Friska belum ke sini?!" tanyanya.

"Kamu belum menghubungi kedua orang tua Septian, Dok. Kami menunggu kabar dari Dokter." sahut Davina.

Dokter itu memutar pandangan nya ke arah Davina, lalu ia menatap nya intens, "Kamu bukanya anaknya Tristan?" Davina terdiam, lalu menggaguk, "Dokter kenal sama ayah saya?" Dokter itu tertawa pelan, "Siapa sih yang tidak kenal dengan ayahmu itu, saya jelas kenal lah, dia kan seorang yang begitu terkenal." ujarnya.

"Jadi gimana keadaanya Septian Dok? Apa dia gak papa?" tanya Davina cemas.

"Septian hanya kecapean saja dan dia butuh cairan, sebab darahnya banyak yang keluar jadi ia sampai gak sadarin diri." ucapnya. " Tapi sekarang udah sadar kok, namun untuk sementara dia di sini dulu, soalnya tadi saya infus. Nanti kalau keadaan nya sudah membaik boleh pulang." sambung nya.

Davina hanya menggaguk, lalu berjalan ke arah ruangan yang di tempati oleh Septian, langkah Davina di percepat. Entah kenapa kini ia merasa khawatir dengan bocah brandal itu, apakah mungkin ia sudah mulai menerima pacar dadakan itu? Atau mungkin ia hanya kasihan saja?

Davina pun bingung dengan dirinya sendiri, "Hey? Gimana keadaan lo?!" tanya Davina kepada Septian yang berbaring sambil menatap dirinya. "Sini!" ujar Septian, Davina berjalan pelan ke arah Septian dan langsung duduk di kursi di samping blangkar yang di baringi oleh Septian.

Septian mengambil tangan Davina lalu di letakan di leher miliknya, dan memeluknya, Davina mengusap kepala Septian pelan, "Apa mungkin kini gua udah bisa menerima Septian sebagai pacar gua? Kenapa di saat gua liat Septian terbaring tak berdaya kek gini gua sedih banget." batin Davina sambil memperhatikan wajah pucat Septian yang juga tengah memperhatikan nya.

"Gua boleh cerita gak gak sama lo?!" tanya Septian.

"Cerita apa? Bilang aja," ujar Davina, Septian menghela napasnya, lalu memejamkan kedua bola matanya, "Tadi lo kenapa sih di deketin sama Cowo tengil itu diem aja, harusnya lo itu usir dia, gak tau apa kalau gua cemburu! Pengin gua hajar lagi dia besok, wajahnya sok polos banget, bikin gua pengin tonjok tuh muka! Kalau aja tadi lo gak ngalangin gua, udah pasti dia bakal masuk rumah sakit." ujar Septian panjang lebar.

Bahkan kedua sahabatnya itu hanya melongo tidak percaya dengan tingkah Septian yang ngomong banyak di depan Davina, sedangkan di depan mereka semua hanya deheman singkat, "Tian? Lo gak kesambet kan? Kok lo bisa ngomong panjang lebar di depan Davina? Sedangkan sama kita enggak?" beo Bastian lalu di aguki oleh Iqbal, Septian langsung menatap tajam ke arah dua sahabat nya itu, "Hem."

"Yah kan, kumat lagi tuh sifat kulkasnya," ujar Iqbal.

Septian memilih diam sambil memejamkan mata sambil menikmati usapan di kepala nya, "Nanti lo ikut balik ke rumah yah!" pinta Septian, Davina melirik jam tangannya, "Gak tau nanti, soalnya gua ada acara sama bokap gua." ujar Davina, Septian langsung menatap tajam ke arah Davina ia melepaskan tangan Davina kasar, "Ya udah sana lo urusain urusan lo! Balik sekarang aja!" ujar Septian dengan ketus.

Tawa Davina pecah, tadi ia hanya ingin mengerjai Septian saja, dan ternyata benar Septian marah kepadanya, "Haha, lo ngambek sama gua? Hem? Kalau lo gak bolehin gua pergi ya udah ngomong aja! Jangan ngambek kek gini! Lo kek bocah tau gak kalau gini." tawa Davina.

Septian makin datar wajahnya, ia memalingakan wajah ke sembarang arah, ia kesel apalagi kedua sahabatnya yang ikut tertawa membuatnya kesal bukan main, tangan nya mengambil gelas kaca yang ada di nakas lalu membanting nya ke lantai, membuat kedua sahabatnya membisu, namun tidak dengan Davina.

Ia mendekati ke arah Septian dengan kekehan kecil, "Sory-sory, lagian lo sensian banget sih jadi cowo! Heran gua, sini gua peluk!" ujar Davina, Septian mengejapkan matanya tidak percaya, lalu dengan senang hati ia bangkit dan memeluk tubuh Davina erat.

Davina mengusap kepala Septian pelan, "Semoga gua bisa taklukin cowo ini," batin Davina sambil memejamkan kedua matanya.

Ceklek.

Davina membuka matanya saat mendengar suara orang membuka pintu, ia menoleh dan mendapati kedua orang setengah baya dengan raut khawatir, "Tian? Kamu gak papa nak? Kenapa sampai kek gini?" cecar seorang perempuan setengah baya itu menghampiri Davina dan Septian di ikuti oleh lelaki parah baya, "Gak papa," sahut Septian pelan.

Bersambung...
Jangan lupa follow, comen, dan vote.

Follow juga ig author @febik1







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DAVIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang