Epilog

419 33 2
                                    

Seoul tetaplah seoul, tidak ada yang berubah. Gedung-gedung pencakar langit berjejer, lampunya menyala terang. Mungkin jika dilihat jauh di atas sana akan terlihat indah. Tapi jika melewati jalan yang sama setiap hari rasanya cukup membosankan juga. Hanya sedikit perbedaan kali ini butiran salju turun untuk pertama kalinya di tahun ini. Maka untuk pertama kalinya Jisung lebih tertarik melihat ke luar jendela mobil daripada memperhatikan mamanya yang sedang menyetir.

Hana tersenyum melihat putranya begitu tertarik melihat turunnya salju pertama. Jisung bahkan mulai sedikit membuka jendela dan menengadahkan tangannya. Semakin lebar senyuman putranya, semakin tinggi pula Hana menarik ujung bibirnya.

"Sudah lama kita tidak bermain salju bersama, kan?"

Jisung menoleh mendengar ucapan Hana. Jendela mobil ditutupnya kembali. "Ayo, kita pergi bermain salju saat sudah banyak salju yang turun." Jisung menatap mamanya dengan penuh harap.

"Haruskah?" Jisung mengangguk semangat menjawab pertanyaan Hana.

"Hari ini sangat menyenangkan. Terimakasih mama."

"Mama juga terimakasih. Liburannya sangat menyenangkan berkat kamu."

Keduanya baru saja pulang setelah menghabiskan waktu di akhir pekan. Tidak begitu jauh, hanya bersantai di tepi sungai Han. Ditemani beberapa makanan dan minuman yang sengaja Hana bawa dari rumah. Ramyeon tidak ketinggalan tentunya. Hanya hal sederhana yang mendatangkan kebahagiaan berlimpah.

Orang-orang pasti merasa aneh melihat seorang pemuda dan wanita yang bisa dibilang sudah berumur berkencan di tempat umum. Beberapa menatap sinis saat Jisung merebahkan kepalanya di paha mamanya. Sangat romatis, tapi tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Keduanya hanya sedang berusaha kembali mendekatkan diri satu sama lain. Lagipula tidak peduli apa kata orang, Jisung memang sangat menyayangi mamanya tapi tentu saja sebagaimana seorang anak menyayangi ibunya. Begitupun Hana, seorang ibu tunggal yang baru saja menyadari betapa berharganya seorang anak. Rasanya seolah dia bisa mati jika harus kehilangan putranya.

"Mama," Hana menoleh, berdeham pelan. "Aku harus mengambil ujian SIM secepatnya setelah legal."

"Wae? Kamu ingin menyetir?" Hana menoleh, mendapati Jisung yang tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya barusan.

"Eumm..., supaya aku bisa menyetir untuk mama. Bahaya menyetir saat turun salju." Jisung mengangguk yakin. Terlepas dari sulit atau tidak ujiannya, berhasil atau tidak, yang terpenting adalah usaha. Jisung akan berusaha yang terbaik, untuk mamanya.

"Mama akan berhati-hati." Hana tersenyum, meyakinkan Jisung. Tangan kanannya bergerak mengusak rambut putranya pelan. Putranya sudah besar. Dia bahkan bertekad melakukan sesuatu demi mamanya. Sejak kapan putranya tumbuh sebesar ini.

"Jisung!"

"Heum?" Jisung kembali menoleh menatap mamanya yang sibuk memerhatikan jalanan di depan.

"Apakah mama boleh menikah lagi? Supaya Jisung tidak menjaga mama sendirian," tanya Hana dengan hati-hati.

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat membuat Hana ketar-ketir. Dia takut putranya akan marah karena melupakan papanya begitu saja. Atau mungkin dia tidak ingin mendapatkan papa baru. Namun semua pemikiran buruknya lenyap begitu saja saat putranya menampilkan senyum manisnya.

"Tentu saja, aku selalu menunggu kapan mama menemukan seseorang untuk mendampingi mama dan merelakan papa."

"Kamu tidak keberatan mendapat papa baru?"

Jisung menggeleng-gelengkan kepalanya lucu. "Asalkan mama bahagia, aku juga sama."

Hana menyempatkan mencubit pipi mochi milik Jisung. Meski sudah cukup dewasa, Jisung akan tetap lucu dimata Hana. "Gomawo."

Nan Gwenchana [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang