Bel pulang sekolah telah berbunyi. Disambut suara gaduh dari setiap siswa. Akhirnya hari yang melelahkan telah berakhir. Masing-masing membereskan barang-barangnya dan segera pergi meninggalkan area sekolah. Ada beberapa yang masih memilih tinggal di sekolah untuk urusan ekstrakurikuler atau sekedar bergurau dengan teman.
Berbeda dengan pemuda berbadan tinggi itu yang berjalan seorang diri tanpa minat. Terlalu malas untuk pulang tanpa seorangpun yang akan menyambutnya di rumah, tidak berminat mengikuti ekstrakurikuler, dan sayangnya juga tidak memiliki seseorang yang bisa diajak untuk sekedar menghabiskan waktu di sekolah hingga matahari tenggelam.
Park Jisung. Pemuda bermata sipit dengan tinggi diatas rata-rata itu menarik ujung bibirnya ke bawah, kepalanya menunduk lesu. Sudah beberapa bulan dia mulai bersekolah di sini, tapi belum ada satu orang pun yang bisa disebutnya sebagai teman. Entah mengapa begitu sulit baginya untuk mencari seorang teman. Dia yang terlalu pendiam atau mungkin orang lain memang tidak berminat menjadikannya teman, entahlah. Bagaimana bisa orang lain berteman dengan begitu mudah? Bagaimana caranya?
Tatapannya mengarah ke beberapa siswi yang bergerombol di koridor kelas. Terlihat asik mengobrol membahas sesuatu meski sebenarnya bukan sebuah hal penting. Pasti akan menyenangkan mengobrol bersama teman sepulang sekolah.
"Aku dengar rumornya dia dihukum, dipaksa pindah ke sini karena kasus bullying sampai anaknya bunuh diri."
Bukan sengaja Jisung mendengar obrolan siswi itu, tapi Jisung memiliki telinga. Wajar saja jika mendengar obrolan mereka yang sama sekali tidak berniat memelankan suaranya. Jisung pun tidak mengerti mengapa mereka mengatakannya dengan suara selantang itu. Apa mereka sengaja melakukannya agar si bintang utama dalam percakapan mereka dapat mendengar dengan jelas?
"Masa sih? Serem banget. Kenapa harus pindah ke sini? Kalau nanti dia membully murid sekolah ini bagaimana?" yang lain menyahut dengan berbagai pertanyaannya. Memancing sang teman untuk membeberkan lebih banyak informasi.
"Dari wajahnya saja sudah jelas. Anaknya orang kaya, sok berkuasa." Salah satu dari mereka melirik sinis seseorang yang sedari tadi mereka bahas. Disusul temannya yang lain. Saat si target menatap balik, mereka segera memalingkan wajah.
Jisung mengikuti arah pandang mereka, di ujung koridor. Pemuda itu tinggi meski sepertinya tidak melebihi tinggi Jisung, matanya sipit, kulitnya putih, dan wajahnya seperti khas orang China. Pemuda itu, tampak tidak berminat dengan percakapan kedua pria paruh baya berpakaian rapi di sampingnya. Kepala sekolah dan pria satunya lagi kemungkinan besar adalah wali dari pemuda itu.
Garis wajah yang tegas, dan tatapan tajam pemuda itu sepertinya semakin menguatkan bukti bahwa rumor yang beredar tentangnya memang benar. Jisung bergidik ngeri, bagaimana jika dia yang tidak pandai bergaul ini menjadi mangsa pemuda itu.
Jisung menepuk pipinya sendiri lalu mengaduh, tanpa sadar menepuk terlalu keras. Jangan berprasangka buruk dulu, tidak baik menilai seseorang dari penampilannya saja. Batin Jisung.
Jisung kembali melanjutkan langkahnya. Untuk apa memikirkan hal yang tidak perlu. Itu sama sekali bukan urusannya. Lagipula belum tentu dia akan bertemu pemuda itu nantinya.
"Park Jisung!" Seseorang berdiri tepat di hadapan Jisung, membuatnya mau tidak mau menghentikan langkahnya. Jisung tidak menyahut, menunggu dia untuk segera mengucapkan alasan utama menghadang jalannya.
"Kamu belum pulang? Ayo pergi ke warnet dengan kami!" Pemuda itu tersenyum. Maaf tapi Jisung sudah muak sengan senyuman penuh arti milik pemuda itu.
"Tidak, aku lelah hari ini." Jisung sudah hapal betul apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia yang akan membayar semua tagihan, tapi berakhir diabaikan dan bermain seorang diri. Memang Jisung tidak sepandai itu bermain game, tapi tidak bisakah tetap mengajaknya menjadi rekan satu tim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nan Gwenchana [Park Jisung]
Fiksi PenggemarMemiliki banyak teman tapi tidak ada ketulusan dan hanya datang saat membutuhkan bantuan. Atau tidak memiliki satupun teman. Diantara keduanya Jisung tidak tahu mana yang lebih baik. Atau mungkin sama saja. Yang dia tahu pasti, tidak memiliki satupu...