🍂 02. Suatu Saat Nanti

514 66 2
                                    

Seminggu lamanya berada di Rumah besar itu, Karan tidak pernah melihat kedua Orang tua maupun kedua Kakaknya tersenyum. Pernah beberapa kali, tetapi bukan senyum untuk dirinya. Melainkan senyum satu sama lain untuk kedua Kakaknya. Hanya mereka berempat. Lagi, tanpa hadirnya.

Bahkan suasana canggung yang kerap kali ia bangun dengan lelucon garing miliknya pun masih tak berarti apa-apa. Seolah suaranya memang tidak pernah benar-benar ada. Tidak pernah mereka dengar hingga semua yang keluar hanyalah omong kosong semata.

Denting sendok di ruang makan malam itu nyatanya tak berhasil membuat alam sadarnya kembali. Detik demi detik terbuang bersama pikiran yang terus berlarian. Hingga suara berat yang mulai sering ia dengar pun menguar. Memecah berisik yang sempat mengambil alih.

"Besok kamu daftar langsung ke Sekolah sama Pak Ridwan."

Mata tegas milik pria yang masih terlihat muda di umurnya yang menginjak kepala lima itu menatap tegas kedua netra Karan. "Kenapa Pak Ridwan, Pa? Nggak Mama atau Papa aja yang temenin Aku?"

"Besok Saya ada rapat penting sama penulis film baru yang akan datang."

"Kalau Mama ada pemotretan pagi. Nggak usah banyak minta, Karan. Masih mending kita suruh Pak Ridwan, kalau nggak kamu mau ke Sekolah sendirian?" sahut wanita berkepala empat yang masih terlihat cantik dan muda diusianya.

Verick Tirtayasa dan Aluna Deliara Tirtayasa adalah sepasang Suami Istri yang mempunyai tiga orang putra. Kedua orang tua yang sama-sama bekerja didunia entertaiment.

"Iya, Ma. Maaf."

Pasrah dan menerima adalah hal yang selama ini Karan tancapkan pada dirinya sendiri. Meski ingin sekali membantah apa yang tidak ia sukai, tetapi itu semua hanya bisa ia telan kembali. Cukup tidak mampu mengeluarkan suaranya di depan orang tuanya. Maupun didepan saudaranya sendiri.

"Besok apa kegiatan kamu Tian?"

"Cap tiga jari, Pa."

Vertian Delaga Tirtayasa, pemuda berumur 20 tahun kini mulai mendalami dunia akting disela-sela kesibukannya memasuki kampus favorit. "Nggak ada jadwal syuting?"

"Ada, sehabis cap tiga jari."

"Kakak jadi antar Mama kan?" tanya Luna kepada putra pertamanya, Derios Atmaja Tirtayasa.

Sang empu mengangguk.

Suara decit kursi terdorong berhasil mengalihkan fokus semua orang. Remaja itu tersenyum lebar kala semua menatapnya. "Karan udah selesai. Mau siapin berkas-berkasnya buat besok."

Belum sempat langkah kakinya melangkah, suara Kakak pertamanya mengalun bersamaan dengan pandangan yang ia alihkan kepada makanan yang sama sekali tak berkurang sesendok pun.

"Bawa sekalian makanan Kamu."

Detik itu, tangan karan terulur mengambil makanan nya.

"Ah, i-iya Kak."

)(

Rumah minimalis yang selalu hangat di pagi hari itu tak pernah terasa secanggung ini. Entah hanya perasaan sosok yang lebih muda dari kedua paruh baya di sana, atau memang benar ada yang salah dengan suasana hari ini. Hingga detik setelah pertanyaan itu terlontar, kedua orang tuanya sama-sama saling pandang dengan wajah yang sulit ia artikan.

"Ada masalah yang Zarka nggak tahu, ya?"

Hela napas berat keluar dari sang kepala keluarga. Maka sebelum pertanyaan selanjutnya keluar dari mulut putranya yang terlalu peka itu, Ia memilih beranjak. "Ayah berangkat kerja dulu. Hati-hati berangkat sekolahnya. Belajar yang rajin." Setelah itu, derap langkah Ayah perlahan meninggalkan jejak suara yang tak mampu meredam rasa penasaran pemuda itu.

Langkah Terakhir [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang