🍂 03. Keanehan

487 57 4
                                    

"Jadi, lo sebelumnya tinggal di Bali?"

Sang empu itu lantas mengangguk. Kembali mengalihkan atensi dari teman barunya yang bernama Dery. Beberapa jam mengenal anak itu, membuat Karan yakin tidak akan bisa tenang sebentar saja. "Kenapa lo pindah sampai ke Jakarta pula. Memangnya orang tua lo punya bisnis apa di sini?"

"Astaga Dery, tadi kan udah aku bilang di depan. aku ke sini karena Ortu tinggal di Jakarta. Selama ini di Bali ikut Oma sama Opa. Paham?" balas Karan sebelum menarik napasnya dalam-dalam. Lantas kembali melanjutkan acara mencatat materi yang ada dipapan tulis.

Cowok dengan rambut cepak itu mengangguk-anggukan kepalanya paham. Namun, belum lima detik suaranya kembali menyapu gendang telinga Karan yang setelahnya mampu menghentikan kegiatan pemuda itu. "Tunggu deh, nama lo kok kayak nggak asing. Karan Abinaya Tirtayasa ... Tirtayasa?!"

Detik itu, semua mata tertuju kepada Dery yang menekankan ucapan terakhirnya. Sukses membuat Karan refleks melanjutkan tulisannya tanpa peduli Dery yang menunjukkan raut aneh itu. Mengabaikan temannya yang sudah mengguncang bahunya heboh.

"Gila! Nggak mungkin, sih, ini! Serius deh, ini nggak mungkin kan Karan? Lo ... "

"Jangan berisik Der," sela Karan melirik sekilas.

"Jawab dulu, lo tahu kan maksud gue? Beneran lo anaknya ... " ucapan Dery terhenti ketika anggukan dari sang lawan telak memberi balasan.

"Biasa aja, ya. Kalau bisa jangan sampai ada yang . Gue nggak mau semuanya jadi heboh kayak lo sekarang. Gue mau tenang selama belajar di sini. Lo bisa sembunyiin ini, kan?"

Napas Dery serasa tercekat. Sungguh, dirinya benar-benar tak percaya bisa bertemu dengan anak bungsu keluarga yang sedang naik daun itu. Apalagi, selama ini anak bungsu yang ditutupi identitasnya berada di depan matanya sendiri. Setelah sempat melihat beberapa kali keberadaan anak kedua keluarga Tirta yang baru saja lulus. "Karan, gue janji nggak bakal bilang siapa-siapa. Tapi, kapan-kapan boleh lah ajak gue ke Rumah lo. Kenalin sama Orang tua lo. Gue tuh, dari dulu fans berat Nyokab Bokap lo. Ya, please?!"

Bukan balasan yang Dery dapat. Melainkan hela napas berat keluar dari belah bibir Karan. Bagaimana bisa menerima ucapan Dery jika jadwal kedua orang tuanya saja sepadat itu. Keinginan Karan mendekatkan diri dengan kedua orang tua juga kakak-kakaknya saja tidak ada yang tercapai sempurna.

"Nanti ya aku pikirin lagi, ngak bisa janji. Mama sama Papa sibuk. Jarang di Rumah, kalau ada waktu nanti aku kabari."

"Serius ya! Pokoknya kalau sabtu atau minggu Ortu lo ada di Rumah langsung calling gue, yak!"

Karan mengangguk malas. Kemudian obrolan ringan terus mengalir sembari dia mencatat materi yang tertinggal sampai istirahat pertama selesai.

Dari awal pelajaran sampai bel berbunyi, ada yang lebih menarik perhatian Karan dari semua tingkah random anak MIPA 1. Pemuda paling depan yang sedari tadi menikmati kesendiriannya. Hingga dengan langkah pelan, disaat anak-anak lain mulai berhambur keluar kelas untuk pulang- Karan lebih memilih mendekati anak itu.

"Nggak langsung pulang?" tanya Karan to the poin sembari menduduki bangku sebelah.

Tidak ada jawaban setelah anak itu melirik sekilas. Benar-benar membuat Karan sedikit menyesal. Namun, belum sempat Karan beranjak, suara lirih itu menguar. "Mau ke perpustakaan dulu."

"Ah, em nama lo siapa?"

"Panggil aja Zarka."

Karan mengangguk-anggukan kepalanya. Bingung mau membahas apa lagi. Dia yang biasanya paling mudah berbaur, entah kenapa serasa mati kutu di depan teman satu kelasnya itu. "Kalau gitu, gue pulang duluan ya."

Langkah Terakhir [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang