🍂 04. Pembunuh!

433 52 12
                                    

Sebelumnya, Karan tidak pernah melamun sampai ditegur guru saat jam pelajaran. Namun, hanya karena mimpi mengerikan itu berhasil membuyarkan fokusnya. Hingga detik ini, bayang-bayang wajah orang itu masih bergelayut. Kenapa dari beribu mimpi buruk yang ia alami selama ini, hanya pria asing yang baru saja ia kenal kemarin mampu menerobos dinding alam bawah sadarnya.

"Minum dulu, nih! Muka udah pucat banget gitu," ujar Dery menyodorkan sebotol air dingin.

"Makasih."

"Kalau sakit mending pulang aja, Ran."

Karan menggeleng, tanpa memberi alasan. Gejolak lain dalam dirinya seolah ingin membuncah keluar. Perasaan yang tak lagi asing, namun masih menjadi pertanyaan besar yang sedari dulu Karan tak bisa menemukan jawaban.

Yang Karan tahu, ada sesuatu lain dalam dirinya. Yang tak pernah bisa dirinya jangkau.

"Pulang sekarang atau nanti? Mau bareng gue nggak?" tawar Dery.

Suasana di sekitar lapangan masih cukup ramai. Banyak anak-anak yang masih berkeliaran dengan kegiatan ekstrakulikuler masing-masing. Hingga detik berganti menit, Karan menggeleng pelan. "Aku nunggu Kang Aji aja."

"Ya udah gue pulang duluan. Ntar jangan lupa kabarin kalau udah nyampe rumah."

Dan setelahnya, Karan kembali terdiam bersama pikiran yang mulai meliar.

)(

Jeritan histeris para murid tak kala seorang murid laki-laki terjun dari gedung berlantai tiga itu sukses menjadi pusat perhatian. Darah mengalir membasahi lapangan yang masih ramai. Sedang di atas sana, tepat di mana sosok itu terjun bebas, ada dua pemuda yang saling berteriak.

"Ngaku aja brengsek! Lo udah dorong Chandra 'kan?!" Karan lagi-lagi menggeleng brutal membalas tuduhan Jendra, teman satu kelasnya. Sedang Chandra, cowok yang baru saja terjatuh dari atap gedung yang kini mereka pijak.

"Aku nggak tahu ... "

Belum sempat kalimatnya selesai, satu pukulan telak menghantam pipi Karan. "Gue gak butuh penjelasan lo, sialan!"

Karan lagi-lagi hanya bisa menggeleng, berulang kali ia berteriak membantah, tetapi sama saja. Ia tak punya bukti. Dirinya sendiri seolah tak tahu kenapa ia bisa berada di sana. Sampai kejadian Jendra menghakiminya, pun dengan Chandra yang sudah tak bernyawa di bawah sana.

Tangan yang saling menaut sedari hampir satu jam itu enggan terlepas. Mungkin saat ini keringat dingin sempurna membasahi seragamnya. Hingga atensinya bergulir kala pintu ruang BP terbuka. Menampakkan dua orang pria yang salah satunya ia kenal.

"Bisa Bapak dan Ibu keluar? Serahkan sama kita berdua," ujar Andra- orang yang baru kemarin malam Karan temui.

Karan menunduk, tidak berani bersitatap dengan Andra. Ada rasa malu mengingat situasinya yang sekarang dianggap sebagai tersangka.

"Tangkap dia Pak! Dia udah dorong Chandra. Aku lihat sama mata kepala aku sendiri," ujar Jendra masih dengan sisa amarahnya.

Karan menggeleng. Pernyataan itu tidak benar. Ia tidak mendorong maupun berniat membunuh Chandra.

"Tenang. Biarkan kami bertanya lebih dulu," sahut Fery- rekan kerja Andra.

"Tapi aku benar lihat ... "

"Bisa diam?!" potong Andra pelan bersama tatap dingin yang berhasil membungkam Jendra. Fokusnya beralih ke arah Karan yang senantiasa menunduk.

Langkah Terakhir [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang