1.0

28 1 0
                                    

Lewat dua minggu sudah berlalu sejak Minji pulang dari rumah sakit.

Minji tak pernah datang bekerja di kafe sejak itu, berakibat putusnya hubungan kerja secara sepihak karena dianggap mangkir tiga hari berturut-turut tanpa kabar. Nari, Jake bahkan Chansung pun sudah berusaha untuk menghubunginya, dan mengunjungi rumahnya namun tak ada sambutan dari sang empunya meskipun gadis itu jelas ada di dalam rumah. Hanya sesekali ia merespon mereka, dan itu pun tidak sampai beberapa menit. Jelas ia hanya merespon agar mereka segera meninggalkannya sendiri.

Semua sangat khawatir dengan keadaan Minji, terlebih tak tahu apa yang menjadi penyebab perubahan perilakunya yang begitu mendadak.

Ya, Jaehwa tidak memberitahu siapapun soal kehamilan Minji. Ia yakin gadis itu punya alasan sendiri untuk menyembunyikan berita itu dan merasa tak ada hak untuk menyebarkannya. Tapi dengan perilaku Minji saat ini, Jaehwa sudah hampir diujung asanya.

Ia menekan terus menerus bel pada pagar rumah Minji. Tak lelah ia menunggu sosok itu untuk menunjukkan ujung rambutnya dari pagi hingga malam, bahkan tak mempedulikan kewajibannya sendiri yang ia tinggalkan. Ia hanya pergi dari sana untuk membeli makan dan minum, mencari tempat untuk mencharge ponsel dan mengisi bensin mobilnya.

"Minji... aku mohon. Beri aku tanda kalau kau baik-baik saja." Lirihnya di depan interkom yang ia tahu dapat Minji lihat dan dengar dari dalam. "Beritahu kau tidak melakukan hal gegabah apapun. Jika tidak denganku, bicaralah dengan yang lain. Setidaknya biarkan mereka tahu bagaimana keadaanmu sehari sekali."

Klik!

Suara kunci pagar terbuka sampai ke telinganya. Alasan mengapa Jaehwa tidak bisa memaksa masuk adalah karena Minji telah mengubah kunci pagarnya menjadi otomatis, membuat kunci cadangan yang ia pegang tak lagi berguna.

Belum sempat memproses, suara yang sangat ia rindukan menyusul melalui interkom.

"Masuk."

Jaehwa bergegas membuka pagar dan berlari masuk kedalam rumah Minji. Pintu utama tak dikunci. Ketika ia mendorong pintu untuk terbuka, sosok berantakan Minji menyambut indera penglihatannya.

Kim Minji, si gadis mungil yang penuh senyum dan menggemaskan, kini terlihat sangat kacau. Rambutnya kusut berantakan, matanya dihiasi lingkaran hitam dan sembab dengan tatapan hampa, bibir pecah dan pucat. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan pipi gembilnya menjadi sangat tirus.

Hatinya hancur melihat kondisi Minji.

"Jangan mendekat!" Bentaknya saat Jaehwa melangkah maju, membuat lelaki itu terkejut dan membeku di tempatnya. Ia tak pernah mendengar suara Minji setinggi itu. "Aku—pokoknya jangan mendekat padaku."

Jaehwa nekat. Ia hanya ingin melakukan satu hal saat ini dan tanpa ragu lagi ia melangkahkan kakinya. Tubuh mungil Minji ia rengkuh seerat mungkin. Ia tak peduli dengan fakta kalau gadis itu belum mandi, atau bagaimana bajunya lecek dan terlihat bekas-bekas ingus. Ia hanya ingin mendekapnya, memberitahunya betapa ia rindu dan khawatir.

"Syukurlah kau baik-baik saja." Setidaknya kau masih bernapas. "Aku rindu sekali padamu."

Beberapa detik gadis itu terpaku, tapi tangisnya pun akhirnya pecah. Ia meremat baju Jaehwa, menangis sekencang-kencangnya hingga napasnya terasa akan habis. Hatinya terasa begitu sesak dengan dekapan erat Jaehwa.

Bukankah ia tak pantas diperlukan seperti ini olehnya?

❄️

Minji menggenggam erat segelas teh hijau hangat yang dibuatkan Jaehwa beberapa menit yang lalu. Mereka berdua tengah duduk diatas ranjang Minji, di dalam kamar yang porak poranda hasil karyanya selama dua minggu terakhir. Jaehwa hanya bisa menahan diri untuk tidak mempertanyakan banyaknya test pack dan botol obat yang berserakan di lantai kamar. Berusaha tak mempertanyakan dahulu gunting dan cutter yang ada di nakasnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang