makan siang

396 73 29
                                        

cinta memang pernah ada, tapi untuk apa kalau terbagi dua.
***

Bau masakan menjalar ke seluruh penjuru rumah. Ayam kecap khas Bunda sudah siap untuk dihidangkan, tinggal menyiapkan beberapa makanan pendamping lainnya hingga semua yang ada di rumah bisa menikmati hidangan lezat buatan Bunda.

"Bun, ini Icha bingung enaknya pakai royco atau masako ya? Emangnya rasanya beda ya, Bun?" kini wanita berpawakan tinggi itu sedang gusar untuk menyelesaikan hidangan cah kangkung-nya yang sudah diresepkan oleh Bunda sebelumnya. Karena ada dua penyedap rasa yang dimilili di rumah ini, membuat Alisha jadi kelabakan sekarang. Dia memang jarang sekali masak makanan asin.

Seraya merapikan peralatan masak yang masih berantakan di atas meja, Bunda tersenyum simpul melihat anak gadisnya kebingungan seperti itu. "Sama aja anak cantik, kamu mau pakai yang mana aja tetep enak kok. Yang penting sesuai dengan ukuran, jangan berlebihan tapi jangan kurang juga." dengan suara lembutnya Bunda menjelaskan pada Alisha.

Gadis yang sedang berdiri di depan kompor itu mengangguk paham. Karena dia merasa tidak adil jika langsung memilih, ia menutup matanya sembari melakukan cap cip cup kepada dua merek bumbu masakan berbeda di hadapannya itu. "Yaudah pakai masako aja deh."

Hati bunda menghangat, mengingat bahwa anaknya yang dahulu selalu merengek padanya sudah bisa menentukan pilihan. Meskipun harus kelabakan dulu sebelumnya. Ia menghentikan sebentar pekerjaannya, kemudian mendekat kearah Alisha.

"Kamu tahu nggak, kak? Kalau didalam hidup kita pasti akan dihadapkan dengan dua pilihan, bahkan bisa juga lebih—" salah satu tangannya terangkat untuk mengusak rambut hitam lebat itu. Alisha segera memberikan atensi sepenuhnya pada Bunda.

"Terkadang pilihan itu terlihat sama, sampai-sampai kita terlena dan bingung untuk memilih yang mana. Tapi, yang harus kamu tahu adalah, melepaskan juga bagian dari sebuah pilihan. Jangan pernah egois untuk mempertahankan apa yang akan kamu tinggalkan nantinya. Kita harus punya prinsip, kak dalam hidup ini." nadanya rendah, tetapi terdengar tegas. Ada unsur untuk mempengaruhi didalamnya.

Figur Bunda sangat berperan penting dalam pertumbuhan Alisha. Setiap langkah yang diambil selalu ia kutip dari perkataan bijak dari Bunda.

Alisha menarik kedua sudut bibirnya keatas. Hangat sekali perlakuan Bunda padanya. Setiap detail kecil dalam hidupnya selalu mendapat perhatian oleh Bunda. "Icha selalu merasa beruntung bisa punya ibu seperti Bunda. Bukan cuma cantik, tapi semua ucapan Bunda selalu mendidik kearah yang lebih baik. Icha pasti hati-hati kok Bunda dalam memilih, jadi Bunda nggak usah khawatir ya."

"Kak ada temenmu." hingga panggilan dari depan merusak suasana haru di dapur.

"Siapa, kak?" Bunda tidak diberitahu sebelumnya kalau ada teman Alisha yang akan datang ke rumah.

Alisha juga ikut heran, perasaan dia tidak mengundang siapa pun kerumahnya. "Si Azka ngaco mungkin, Bun." ujarnya, kali saja adek bungsunya itu mempermainkannya. Mereka hanya dua bersaudara, jadi Azka —adek bungsunya— sering menjahilinya.

"Kak? Dilihat dulu dong. Jangan gitu, Bunda nggak pernah ngajarin adek untuk bohong."

Alisha mengangguk patuh. Se-mengesalkan apa pun adeknya, dia yakin anak itu tidak akan berbohong. "Icha liat dulu ya, Bun. Maaf nggak bantu Bunda buat beresin."

"Udah, Kak. Gih kamu lihat." Bunda mendorong pelan tubuh anaknya untuk segera ke depan.

Karena paksaan Bunda dan juga panggilan dari Azka, Alisha akhirnya tiba di ruang tamu. "Mana dek temen kakak?" tanyanya pada lelaki jakung yang sedang bermain ponsel di sofa ruang tamu mereka.

Matcha LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang