"Pa, aku mau bilang sesuatu, nih."Mas Tomi baru memasuki rumah, aku sudah menyerondolinya dengan banyak pertanyaan. Sontak saja raut wajah Mas Tomi bergidik sinis padaku. Tapi, aku tak mempedulikannya. Pertanyaan satu ini lebih penting.
"Apa, sih, Ma. Nggak bisa slow apa. Ambilin aku air minum dulu, gih," perintah Mas Tomi memotong cerocosanku.
Setelah meneguk air putih segelas, Mas Tomi beranjak menanggalkan bajunya di cantolan baju. Aku masih saja mengekorinya dengan menjejali pertanyaan yang sepertinya masih diabaikan oleh suamiku ini.
"Mas, kamu tahu anak Pak Rohman yang perempuan itu? Dia tadi lamaran, lho. Kayaknya calonnya orang kaya, deh. Keliatan dari mobil yang terparkir di halaman rumahnya itu."
"Hedeh, sapa tau milik keluarganya 'kan? Lagian ngapain, sih Mama ikut campur urusan orang?"
Hatiku menciut mendengar pertanyaan yang menohok batin. Mas Tomi memang tipe yang paling males kalo menanggapi kabar burung. Tetapi, justru dia semangat kalau kabar betulan yang terpampang nyata di depannya.
Mas Tomi membuka almari baju gantung, aku yang masih berada di belakangnya kaget setelah melihat satu setelan baju yang tergantung di sela pakaian lain.
'Batik? Punya siapa?'
"Lho, Pa. Ini punya Papa?" tanyaku mode kalem, karena aku tak ingin Mas Tomi merasa kucurigai.
"Oh, itu. Dari Pak Rohman."
"Whats?!" teriakku kaget. Mana mungkin suamiku diberi kemeja batik bernuansa cokelat seperti itu. Jangan-jangan?
"Tadi 'kan lamarannya putri Pak Rohman?" Mas Tomi bertanya menekankan padaku. Lantas aku mengangguk pelan, bersiap menelaah apa yang setelah ini Mas Tomi katakan.
"Batik ini untuk acara akad nikahnya, Ma. Aku diundang sebagai saksi."
Tunggu! Aku cerna dulu. Bagaimana bisa Pak Rohman menunjuk suamiku untuk menjadi saksi di akad nikah putrinya, sedangkan aku tak diundang di acara lamarannya. Sungguh terlalu!
Kugantungkan kembali baju batik murahan itu ke lemari. Aku mencibirnya seolah baju itu najis bila kupegang, betapa kebencian merasukiku kini.
Melihat wajah innocent Mas Tomi, aku tidak berhak memarahinya. Toh, dia diundang. Kalaupun menolaknya, bakal dicap sombong atau apalah di circle bapak-bapak.
Napasku yang tersengal, kuatur kembali. Sebisa mungkin aku bertindak sesuai akal sehat. Nggak mungkin bila menggemborkan kepada khalayak ramai kalo keluarga Pak Rohman sangat tidak adil.
Suara air bergemericik di kamar mandi, Mas Tomi masih sibuk membersihkan diri. Apakah aku harus mengecek ponsel Mas Tomi? Apakah lancang? Oh, tentu tidak.
Ponsel yang tergeletak tak berdaya di atas nakas itu langsung kugapai. Ibu jariku langsung menekan password yang sekian lama aku mengetahuinya. Pandanganku menuju di aplikasi hijau dengan angka notifikasi merah di atas logonya, menandakan banyaknya chat yang masuk di ponsel Mas Tomi.
Tak ada chat berarti, kalau ada pun mungkin sudah dihapus oleh Mas Tomi. Karena, mungkin menghindari hal yang tidak-tidak. Mengingat diriku adalah pelacak ponsel nomero uno.
'Hmm, chat dari Pak Rohman nggak ada. Lalu, dari mana aja, ya?' gumamku menelisik.
Jeglek!
Wah, Mas Tomi udah selesai mandi. Aku harus cepat-cepat menaruh kembali ponsel miliknya.
Aku pun berpura-pura sedang menata baju yang akan dipakainya, sembari mendehem berirama semrawut entah nada lagu apa yang kusuarakan.
Malam yang dingin, membuatku tak dapat tidur semalaman. Bagaimana tidak, kata-kata Bu Jaya terngiang selalu di pikiranku. Tentang kelakuan Bu Luki tentunya.
--
Rabu pagi agaknya membuatku sibuk, sebab aku bangun kesiangan. Untungnya Mas Tomi tak pernah sarapan pagi dengan makanan berat, cukup dengan roti dan segelas kopi sudah membuatnya bersemangat untuk bekerja.
Vida telah selesai mengenakan baju seragamnya. Dengan make up sederhana, aku bersiap untuk mengantarkan dia berangkat sekolah.
Alamakk!
Jalan ditutup, padahal baru saja pukul setengah tujuh pagi. Para cecunguk itu rupanya sedang bersenam ria, beberapa ibu-ibu dengan perut mekarnya tampak sangat percaya diri bergeol-geol kesana dan kemari mengikuti gerakan pemimpin senam di depannya, yang tak lain dan tak bukan adalah Bu Erte sendiri.
Terpaksa aku harus memutar haluan, melewati gang samping menghindari perkumpulan senam tak tahu diri itu.
Huh! Untungnya, sekolah Vida belum berbunyi bel masuknya. Aku tancap gas lagi untuk berbelanja ke pasar, menyiapkan menu masakan harian untuk keluarga.
Hampir sampai di rumah, gang komplekku lagi-lagi masih saja di portal. Ada apa gerangan? Wah, apa mereka masih membuntunya dengan acara senam itu?
Tidak! Kali ini bukan senam, mereka menggelar tikar untuk acara makan-makan tampaknya.
Astagfirullahalladzim. Aku mengelus dada, biarpun aku termasuk yang termuda di RT ini, setidaknya aku tak seperti mereka yang menolak tua serta gemuk yang selalu dipeliharanya.
Bagaimana bisa selesai senam mereka makan-makan? Kalori yang habis, lalu mereka panggil lagi ke dalam tubuh. Bukan langsing yang di dapat, melainkan langsung. Langsung montok.
Aku memarkir sepeda motorku, lalu menyirami tanaman yang seperti biasa kulakukan. Terlihat Bu Luki sedang sibuk bolak-balik membawa beberapa makanan untuk disajikan di tikar kegirangan itu.
Dengan menyaksikan dari kejauhan, aku melihat langsung wajah Bu Erte dengan para pengabdinya. Sungguh terlalu, kepala suku macam dia seolah-olah menjadi ratu di antara lainnya. Terlihat dia selalu memerintah untuk melakukan ini itu, seenak pusarnya sendiri.
Ritual siraman tanaman telah selesai, Bu Jaya keluar kandangnya. Padahal aku susah bersiap untuk menutup pagar.
"Eh, Bu Jaya nggak ikut senam lalu makan-makan?" celetukku ingin mengetahui respon dari Bu Jaya, penentang komunitas mbuletisasi Erte.
"Hi, nggak banget!"
Dengan wajah mencibir, Bu Jaya menaiki sepeda anginnya. Sepertinya ia mau pergi berbelanja. Sementara aku akan melanjutkan bersih-bersih rumah.
Tok! Tok!
"Bu Tomi!"
Siapa itu? Suaranya seperti aku kenal? Setelah membuka pintu, akhirnya aku tahu siapa.
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/321454917-288-k63152.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni RT Lima
HumorBayangkan bila rumahmu dikelilingi oleh tetangga yang sangat toxic. Apalagi kepala sukunya, alias ketua RTnya. Bisa-bisa home like hell, deh. Ikuti terus gimana serunya cerita ini.