"Ya, ada apa Bu Karto?" ujarku seraya melempar senyum kaku padanya.Bu Karto ini tetangga sebelah Bu Parman, klop dua-duanya mempunyai mulut yang super julid. Bedanya, Bu Parman tak seheboh Bu Karto yang lebih mirip dengan Bu Erte ketika sedang bergelak tawa. Very stereo.
"Bu Tomi, maaf mengganggu sebelumnya. Sebentar lagi kan tujuh belasan, kami selaku pengurus RT mau menghias jalan."
Sudah kuduga, ada udang di balik rempeyek. Mana mungkin Bu Karto susah-susah menggedor dari pintu ke pintu untuk meminta sumbangan sukarela.
"Oh, gitu. Berapa nominalnya, Bu?"
"Sukarela saja, Bu Tomi."
Ah, elah. Orang ini sungguh membuatku bingung, akhirnya aku mengambil dompet dan kebetulan di sana hanya ada dua lembar uang. Lima ribuan, dan lima puluh ribuan. Oh, My God!
Dengan pasrah serta hati yang tak rela, aku menyerahkan lembaran biruku itu. Padahal sudah aku rencanakan untuk membeli lauk matang agar tak masak di malam harinya.
"Wah, terima kasih banyak, Bu Tomi. Semoga rezekinya lancar dan barokah. Saya pamit dulu ya, Bu. Permisi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," timpalku melepas kepergian Bu Karto yang membawa lembaran uang dariku. Tampak ia mengibas-ngibaskan di depan wajahnya, seolah berhasil memalak orang yang lemah.
Bu Karto berjalan menuju kerumunan Bu Erte dan pengikutnya. Oh, rupanya mereka berkumpul untuk merencanakan sesuatu di sana. Hmm, tak kuduga mereka sungguh licik.
Saatnya bagiku untuk menanyakan hal ini pada Bu Jaya, apakah dirinya ditarik sumbangan juga sama sepertiku?
--
"Sayur-sayur," teriak Pak Sueb memecah kegalauan para ibu yang sudah gundah untuk memasak apa hari ini.
Aku mengintip di balik tirai jendela, sudah kuduga Pak Sueb bakal diserbu oleh ibu-ibu julid itu tentunya. Aku menahan diri, bila sudah sepi baru aku keluar untuk mencari sayur mayur.
Pak Sueb, tukang sayur yang membawa motor Tossa, telah dinanti oleh para ibu-ibu di komplek ini. Apalagi gerombolan ibu-ibu julid yang sedari jam tujuh pagi sudah mengobrol di depan rumah Bu Misdi.
Bu Misdi rumahnya berada di seberang rumahku, tepatnya di depan rumah Bu Luki.
Perawakannya yang tinggi dan gemuk, membuat orang menganggap Bu Misdi adalah bodyguard utama di kumpulan mereka. Ya, pengikut Bu Erte juga tuh, Bu Misdi.
Setelah lima belas menit berlalu, para ibu-ibu telah menyelesaikan belanjaannya. Sudah saatnya bagiku untuk keluar dan membeli beberapa sayur yang tak ada dalam stok kulkasku.
"Pak Sueb, kok siang ke sininya, Pak?"
"Iya, Mbak. Di gang belakang tadi lama soalnya."
Aku mengangguk-angguk sambil memilih beberapa kangkung yang menumpuk di sana.
Bu Parman muncul, sepertinya ia telat berbelanja dengan gengnya.
"Masak apa, Mama Vida?"
Aku yang kaget begitu ditanyai, langsung nyengir. Tak tahu akan masak apa hari ini, aku menimpali dengan kebohongan yang membuat dirinya ciut.
"Masak daging, kurang sayurnya aja, Bu."
Aku cekikikan dalam hati. Namun, aku tak mau melihat raut wajah Bu Parman setelah aku menjawab begitu, bisa-bisa ia mencibirku hingga aku tak dapat mengendalikan diri dan tersulut emosi, bisa kacau nanti.
"Ih, Pak Sueb. Kok, Mujairnya kecil-kecil begini, sih. Nggak ada yang besar apa?"
"Nggak ada, Bu Parman. Itu aja dari pasar besar tadi."
Benar 'kan? Bu Parman mencibiri Pak Sueb. Orang ini memang tidak punya etika kesopanan, padahal jelas-jelas ada ikan lain yang lebih besar dari mujair. Seperti bandeng misalnya.
"Pak Sueb, aku beli Bandengnya satu ekor, ya. Tolong disisikkan sekalian. Terus, ini kangkung dua ikat, jangan lupa asam jawanya."
Tanpa bertanya berapa harganya, aku mengambil bandeng yang tinggal dua ekor di dalam kotak gabus penyimpanan ikan milik Pak Sueb. Lalu menyerahkannya untuk dibersihkan sisiknya.
Tak lama kemudian Bu Erte kembali ke lapak Pak Sueb, diikuti Bu Misdi. Rupanya mereka belum kelar berbelanja, bikin aku malas saja membaur dengan mereka.
'Ayo, dong, Pak Eb. Cepetan selesai,' Batinku dengan perasaan was-was.
Entah kenapa bila gerombolan si berat itu datang, serasa diriku gemetaran. Padahal aku sama sekali tak berbuat kesalahan pada mereka. Apa mungkin aura jahat yang dikeluarkan, membuat orang bergidik ngeri?
"Beli apa Bu Parman? Dirimu dari tadi kok, belum selesai aja," tanya Bu Erte sembari menjawil lengan Bu Parman. Setelah itu, tangan yang dihiasi dengan gelang keroncongnya itu membuka-buka tumpukan sayuran.
"Aku lupa beli bayam, anakku request sayur bayam soalnya."
Tak ada yang bertanya, Bu Erte bercerita dengan gaya khasnya. Suara cempreng dan kepala yang selalu mendongak, karena tingginya arogansi. Cuih!
"Aku juga, anakku tiba-tiba bilang minta makan ikan. Yaudah, kayaknya aku masak mujair aja, kali ya."
Bu Misdi selalu bersinergi dengan Bu Erte, entah kenapa dua orang itu seperti pinang dibelah kapak. Sama persis kelakuan dan sifatnya.
"Idih, Mujairnya kok kecil-kecil, gini, Pak Eb? Nggak ada yang besar kayak diriku ini kah?"
Pak Sueb sontak tertawa. Tampaknya, ia telah menyelesaikan tugasnya menyisik ikanku, lalu dimasukkannya ke dalam kantong plastik.
"Bu Misdi, ikan sebesar anda, adanya ya ikan duyung, Bu. Ha ha ha," celoteh Pak Sueb. Seketika raut wajah Bu Misdi tertekuk, mulutnya manyun.
"Berapa semua, Pak?"
"Sebentar ya, Mbak."
Pak Sueb membuka kalkulator kecilnya dari tas pinggang yang ia pakai. Lalu, menekan-nekan tombol di sana.
"Sayurnya juga udah jelek-jelek begini, Pak. Dikasih murah aja, ya. Bayam tiga ikat dua ribu, boleh?" tawar Bu Erte mencekik pernapasan Pak Sueb seketika.
Terlihat Bu Parman berbisik-bisik juga dengan Bu Erte, entah apa yang mereka bicarakan.
Ketiganya seolah-olah mengejek jualan Pak Sueb. Bukannya membeli dan langsung pulang, mereka malah membuat berantakan, ujung-ujungnya hanya membeli tidak seberapa. Sungguh mengenaskan.
Setelah hitung-hitungan dengan Pak Sueb, aku membayar. Kemudian segera pergi dari kerumunan orang tak tahu diri yang sedang menghajar barang dagangan tukang sayur yang tak berdosa itu.
"Mari duluan, ya ibu-ibu," pamitku lalu secepat kilat masuk ke rumah. Meninggalkan mereka yang tengah asyik memporak-porandakan barang dagangan Pak Sueb.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni RT Lima
HumorBayangkan bila rumahmu dikelilingi oleh tetangga yang sangat toxic. Apalagi kepala sukunya, alias ketua RTnya. Bisa-bisa home like hell, deh. Ikuti terus gimana serunya cerita ini.