Suara keributan timbul kembali di luar rumah. Padahal masih pagi, harusnya ibu-ibu sibuk di dapur ataupun beberes rumah. Bukan malah teriak-teriak nggak jelas begitu.Merasa kebisingan tak kunjung berhenti selama setengah jam lebih, aku pun akhirnya memeriksa keadaan sekitar. Ada apa gerangan? Tumben-tumbenannya para tetangga lain dari rumah ujung berkumpul, tanpa memanggilku pula.
Wah, sepertinya ada masalah serius. Terlihat dari wajah Bu Jaya, Bu Asep, dan Bu Luki yang berkerumun.
"Lho, ada Bu Jay?"
Bu Jaya memberikan isyarat agar aku mendekatinya, karena tahu kalau aku bakalan kaget nantinya setelah mendengar kabar ini.
"Tetangga pojok sedang bertengkar dengan suaminya," bisik Bu Jaya. Aku mengerutkan alis, memfokuskan diri mendengar cerita yang entah benar atau tidaknya dari Bu Jaya.
"Lha, kok bisa sampe rame begini, sih?"
"Nanti aja cerita lengkapnya, kita simak dulu yang di sini."
Aku mengangguk, menuruti apa kata Bu Jaya dengan patuh. Beberapa ibu-ibu yang sebelumnya hanya kenal dengan saling bertegur sapa, kini bisa tahu sikapnya walau di saat genting begini.
Ada yang respek, ada yang acuh tapi diam-diam memperhatikan, adapula yang menyinyiri secara live di tempat itu. Hedeuh, aneh sekali dunia ini.
Baru saja menempati selama dua tahun, aku masih saja seperti menjadi orang asing di RT sendiri. Ya, namanya saja termuda, lainnya seumuran bibiku. Jadi, mereka seolah-olah ingin dihormati dengan harus ditegur sapa duluan oleh yang muda.
Benar saja, aku pernah melakukan teori ini. Kesenjangan antara senior junior memanglah ketat di negeri ini. Bukan hanya di forum lembaga pendidikan atau sejenisnya, di komplek perumahan seperti ini pun juga ada.
Aku dan suami, tipe orang yang nggak peduli dengan urusan orang lain, serta nggak mau ikut campur. Di mana bila kita nggak akan mengganggu, apabila orang lain nggak mengusik kita. Simpel, toh. Harusnya seperti itu.
Nah, seperti kejadian yang baru saja terjadi. Tetangga yang sedang kesusahan akibat ulah sendiri. Harusnya menjadi masalah pribadi, malah menjadi konsumsi publik. Di mana privasi seseorang sudah tak berarti lagi.
Ibu itu sangat kasihan, ia sedang syok sehingga wajahnya sangat pucat dan lemas. Garis di rautnya menggores kelelahan. Bila kutaksir, usianya sekitar empat puluh tahunan.
Kerumunan berangsur menyepi. Aku masih terduduk di depan rumah Bu Jaya, ditemani Bu Sapto, tetangga sebelah Bu Jaya yang juga menjadi teman baikku.
"Kok, bisa di jalan begini, ya pertengkarannya?" tanyaku penasaran, sambil memantau gerombolan ibu-ibu yang sudah menyebar kembali ke rumah masing-masing.
"Ceritanya, Bu Jupri itu mengejar suaminya. Lha, suaminya itu harusnya libur kerja, eh malah ngelayap. Tapi, nggak tahu ngelayap kemana. Yang jelas, ibu-ibu tadi tanya katanya si suaminya sedang janjian dengan wanita lain. Bu Jupri cerita sambil nangis-nangis, tuh."
Sontak aku dan Bu Sapto terhenyak. Keherananku semakin membulat bila Bu Jaya yang bercerita. Sebuah kisah akan seperti nyata, sebuah cerita akan menjadi seru bila Bu Jaya yang menyampaikannya.
"Lalu, Bu Jupri kok lemas di tengah jalan, Bu Jay? Apa mungkin suaminya nggak terkejar?" Bu Sapto yang usianya sama sepertiku juga penasaran, hingga menjejali pertanyaan pada Bu Jaya.
"Nah, itu. Suaminya langsung tancap gas di belokan sana. Bu Jupri yang merasa lelah dan tertekan, akhirnya berhenti di depan sini dengan tubuh yang terkulai lemas. Akhirnya ibu-ibu lain yang tahu langsung membopongnya di tepi jalan.
"Oooh, gitu."
Aku dan Bu Sapto menimpali bersamaan. Seketika kita bertiga langsung tergelak, tanpa memedulikan tetangga lain yang berkerumun di ujung gang.
--
Malamnya, aku berbincang ringan dengan suami yang kebetulan dia sedang santai.
"Pa, Bu Jupri tadi kasian." Aku mencoba mengawali obrolan, karena kutahu dia tak seberapa suka bila aku menggibah hal yang omong kosong.
"Kenapa emangnya?" singkatnya.
"Tadi orangnya lemes di jalan, kayaknya kejar-kejaran ama Pak Jupri. Tahunya, Pak Jupri selingkuh deh, Pa."
Mata suamiku kini menghujamku, aku semakin bersemangat melanjutkan cerita. Persis seperti yang diceritakan oleh Bu Jaya. Namun, suamiku akhirnya membuang napas berat. Sepertinya dia sudah tahu masalah ini.
"Pak Jupri orang yang baik, hanya karena godaan wanita, dia jadi begitu." Suamiku melontarkan komentarnya.
"Ada benarnya juga, tapi tetap saja salah. Karena, bagaimanapun istri sah adalah istri yang harus diperjuangkan. Tak boleh dikhianati seperti ini, ingat dulu waktu nikahin. Ah, aku jadi ikutan geregetan, deh, Pa," cerocosku tanpa jeda.
"Aku pernah memergoki Pak Jupri sedang bertelepon ria di poskamling malam-malam. Entah mengobrol dengan siapa, sampai duduk di pos padahal rumahnya ujung utara, dan pos di ujung selatan."
Seketika pikiranku menerawang, orang sekelas Pak Jupri yang notabene pria berumur yang harusnya setia, eh malah berselingkuh. Aneh, sih. Tapi, jaman sekarang, nggak ada yang nggak mungkin.
"Pak Jupri punya hape baru, kapan hari dia nyari aku buat benerin hapenya. Kayak instal ini itu, gitu."
What? Ponsel baru? Wah, nggak bener, nih. Suamiku ini harus menceritakan secara detail, kalo tidak bukti seperti ini akan lenyap. Hingga Pak Jupri dengan leluasa menang bila diangkat ke jalur hukum.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni RT Lima
ComédieBayangkan bila rumahmu dikelilingi oleh tetangga yang sangat toxic. Apalagi kepala sukunya, alias ketua RTnya. Bisa-bisa home like hell, deh. Ikuti terus gimana serunya cerita ini.