Cerita ini diikutsertakan dalam Event Samudera Printing dengan tema "Tetangga Masa Gitu"
"Wajahmu itu, iya kalo cantik. Wong mbulak kek gitu aja sok-sok gegayaan!" seru wanita berbadan agak tambun, rambut sebahu lurus agak keriting seperti bekas smoothingan. Matanya memelototi wanita paruh baya seumurannya dengan wajah sangar.
Wanita itu bernama Bu Yatno lebih dikenal dengan sapaan Bu Erte. Ya, dia adalah istri dari ketua RT di komplek ini. Wanita itu kini sedang dipuncak amarah, suara stereo yang dimilikinya lebih mirip dengan auman singa betina yang kelaparan. Melengking sampai ratusan meter jauhnya.
Beberapa ibu-ibu yang berada di dekatnya perlahan beringsut. Mereka tahu, bahwa junjungannya kini sedang berada di angkara kemurkaan. Sehingga, tak ingin memperkeruh suasana. Ibarat menyiram bensin di kobaran api. Dhuarr! Meledaklah.
"Meski wajahku jelek begini, masih punya sopan santun! Awas saja kalo kamu mengusik hidup saya. Gak segan-segan kujungkirkan badanmu ke dalam sungai."
Bu Jaya membalas ledekan dari Bu Erte, sambil berkacak pinggang ia mengacungkan bogemnya ke udara, pertanda ancaman yang kuat dilayangkan untuk kepala suku di komplek perumahan ini.
Aku yang awalnya mendengar keributan itu, spontan lompat lalu bergegas mengintip dari balik pagar. Keingintahuan menepis rasa malu, sepertinya tetangga lain juga begitu. Melihat apa ada acara seru lagi seperti yang sebelum-sebelumnya.
Peristiwa yang sedang terjadi itu tepat berada di depan rumahku. Bu Jaya sendiri ialah tetangga sebelah kananku, ia terkenal tegas menentang aksi apapun yang dipimpin oleh Bu er-te. Satu RT pun tahu, maka dari itu tak ada seorang pun yang mampu melerai kedua wanita terkuat yang sedang berduel sengit itu.
"Ha ha ha, aku nggak takut. Ancaman basi, kapan gantinya? Mbok ya, ngancam aku diceburin ke laut, gitu. Jangan di sungai, terlalu cetek. Wuuaa ha ha ha."
Gelak tawa Bu Erte semakin menjadi. Hidung Bu Jaya kembang-kempis, entah kenapa dia masih saja meladeni tingkah wanita nomor satu di RT ini.
Akhirnya, Bu Jaya membuang muka penuh benci. Ia melangkah menuju rumahnya, bersama anak lelaki kecilnya yang telah merengek minta pulang.
Bu Erte mengekeh penuh kemenangan, disambut oleh pengikutnya yang akhirnya mengerubungi Bu Erte dengan riang.
Betapa suramnya lingkungan rumahku ini, betul saja pemilik rumahku ini menjual dengan harga yang tak terlalu mahal. Oh, ternyata ini sebabnya.
"Bu Jaya, ada apa?" tanyaku memberanikan diri, walaupun sebenarnya tahu kalau Bu Jaya masih menahan amarah.
"Dia tiba-tiba mengejek aku, gegara anak kecil yang dipangkunya itu melambai padaku."
"Lha, kok bisa, Bu? Si Kaisar anak Bu Siwi?"
"Hooh, kan aneh. Masa Kaisar dibilangin 'jangan dadah-dadah sama tante itu, dia jelek, cantikan mami lho, Kai'. Namanya aku ya punya telinga bisa mendengarlah, dia ngomong dengan suara kecil aja keras begitu. Langsung aja aku timpalin, 'Ngomong opo kowe?' langsung dia nggak terima."
Aku menghembuskan napas berat, udah berkali-kali memang warga RT ini mengeluh tentang kepala suku yang sangat arogan, nggak tahu etika kesopanan. Entah, warga seperti apa di sini sampai-sampai si Erte bertahan hingga dua periode lamanya.
"Aku masuk dulu, ya," ujar Bu Jaya. Raut mukanya masih tertekuk, menahan luka yang sudah tergores berkali-kali karena Bu Erte tentunya.
"Ma, ada apa, sih itu? Kenapa orang-orang marah-marah?" tanya Vida anakku yang masih berumur tujuh tahun.
"Udah, nggak ada apa-apa. Yuk, tidur siang lagi, Nak."
Sebelum memasuki rumah, mata-mata pengikut Bu Erte mengintai diriku yang baru saja mengobrol santai dengan Bu Jaya. Sepertinya mereka tak menyukai sesiapa yang tidak bergabung dengannya. Layaknya aku, yang benar-benar malas meladeni omong kosong mereka.
Meminta iuran serta tarikan dana yang entah untuk kegiatan apa, tak jelas sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada, mencoba bertahan dalam badai di atas gurun pasir yang gersang.
--
Vida telah bersiap untuk ngaji sore. Aku melepas keberangkatannya dengan wajah yang masih kusut, belum mandi.
Tanaman di depan rumahku yang hanya beberapa biji, kusiram dengan selang air. Sekalian mendinginkan jalan paving depan rumah yang menggersang akibat matahari yang sangat terik, akhir-akhir ini.
"Lho, Mama Vida sedang siram-siram, ya?" ujar Bu Parman yang sedang melenggang menuju tetangga sebelah kiriku, yang masih satu circle dengannya alias se-geng dengan Bu Erte.
Batinku, ya ampun! nggak lihat apa sedang ngapain. Jelas-jelas menyiram tanaman, walau tanamanku cuma seuprit, yang penting sayang tanaman, dong.
"Ehm, sedang membuang-buang air, Bu Parman," candaku sambil nyengir kuda.
"Lha, tanamannya dulu mana? Bukannya punya banyak? Bunga Krisan, Mawar sama Telang kayaknya, ya?"
Hedeuh, bener-bener deh Bu Parman ini, matanya kayak CCTV, hafal betul tanaman yang dulu aku beli.
"Mati, Bu Parman. Ya, kebanyakan kutinggalin pergi soalnya. He he he," jawabku mengglambyar.
"Ha ha ha, makanya, dong. Punya tanaman jangan disembunyiin, dikeluarin gitu lho. Beli pot yang besar-besar, jangan kecil-kecil kayak gitu. Tanamannya ntar stress."
Aku menganggukkan kepala seraya mengguyur kaki yang sedari tadi kesemutan. Bu Luki, tetangga sebelah kiriku muncul dan nimbrung dengan Bu Parman. Mereka berbisik-bisik, hingga menimbulkan suara mendesis seperti ular berbisa.
Telingaku sungguh gatal mendengar ocehan Bu Parman, langsung saja kuputar keran air dalam mode off lalu kulingkarkan selang air pertanda ritual penyiraman tanaman telah usai.
Kututup pagar rumahku keras-keras dengan perasaan dongkol. Lalu, Bu Parman bagaimana? Ya, dia kuacuhkan. Biar saja, orang julid macam dia nggak usah digubris dalam-dalam, yang ada otak kita jadi meledak.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni RT Lima
HumorBayangkan bila rumahmu dikelilingi oleh tetangga yang sangat toxic. Apalagi kepala sukunya, alias ketua RTnya. Bisa-bisa home like hell, deh. Ikuti terus gimana serunya cerita ini.