Kabar Baru

10 1 0
                                    


Kampret! Tanamanku roboh satu. Pasti kerjaan bocah-bocah yang suka main bola di depan rumah, nih.

Kurapikan kembali tanaman hias berjenis Miana ini dalam potnya. Memang, tipe  perumahan di komplek ini sangatlah minim halaman. Luasnya tak seberapa, sehingga aku sendiri merenovasi rumahku dengan teras yang sempit. Hanya muat untuk kendaraan saja.

Beruntunglah aku masih punya pohon mangga yang sangat subur di depan rumah, buahnya yang lebat dan tergolong varietas bagus, membuatku bangga untuk sekedar bersaing dengan pohon mangga tetanggaku yang lain.

"Wah, Bu Tomi mau panen, nih," celetuk Pak Asep tetangga depan rumahku mengetahui aku sedang asyik berkutat dengan tanah dan tanaman di taman mini depan rumah.

Aku tersenyum melihat Pak Asep tengah memandangi pohon manggaku dengan seksama. Agaknya bapak-bapak seusia orangtuaku itu terkesima dengan buah manggaku yang berbuah super besar itu.

"Iya, Pak. Monggo kalau mau ambil, silahkan saja."

'Kok, Pak Asep, aku sendiri aja nggak bisa ngambilnya. Mana tinggi pula pohon mangga ini, maklum sudah puluhan tahun lamanya,' gumamku.

"Ah, iya Bu Tomi. Besok-besok saja. Itu, si Ibu yang kepengen kayaknya."

Setelah beberapa anggukan kepala untuk menghormati Pak Asep yang serius bercerita, aku kembali beranjak untuk membersihkan tangan. Sejurus itu, Bu Jaya muncul dari rumahnya, lalu melemparkan senyum padaku.

Sembari menggosok-gosokkan tangan di abwa aliran air, Bu Jaya menghampiri perlahan. Ia muncul dengan raut muka yang masam, entah kenapa. Sesekali juga ia celingukan ke kanan dan kiri, seperti takut akan sesuatu.

"Iya, ada apa, Bu Jaya?"

Aku bersiap memasang telinga, sepertinya ada kabar baru yang disampaikan oleh Bu Jaya ini.

"Aku sebel ama tetangga sebelahmu," singkat Bu Jaya sedikit berbisik.

"Bu Luki?"

"Iyyaa, siapa lagi. Bendahara kesayangan Bu Erte."

Aku tergelak, macam mana pula orang seplin-plan Bu Luki menjadi bendahara andalan RT Lima ini. Sungguh mustahil yang menjadi mustahal.

"Sini-sini, Bu Jaya. Kita duduk di sini."

Bu Jaya duduk di kursi plastik teras kecilku, setidaknya aman dari mata-mata kepala suku yang tersebar luas di daerah ini.

"Maaf, Mbak Mama Vida. Bukannya aku menjelek-jelekkan Bu Luki. Dia itu harusnya tidak mencampuri urusanku, tapi kenapa dia selalu saja ikut urusan. Sebel aku!"

Aku memfokuskan diri dengan obrolan yang sangat kunantikan untuk diceritakan ke suamiku ketika ia pulang. Berita yang menambah kebenciannya terhadap warga komplek ini, supaya tidak terlalu mempercayai mereka.

"Memang, aku bukanlah orang yang kaya. Hidupku juga pas-pasan, jadi tolonglah saling menghargai."

Bu Jaya masih melanjutkan ceritanya, padahal pikiranku sempat mampir pada momen di mana aku sedang berduaan bersama suamiku.

"Pihak Bank menyurvei rumahku, sayangnya aku sedang tak di rumah. Waktu itu Bu Luki berada di depan rumahnya, entah ngerumpi atau apalah. Dia dengan seenaknya mengusir tamuku itu."

"What? Kok, berani-beraninya, Bu Jay? Wah, perlu diberi pelajaran, nih."

Merasa frustasi dengan cerita Bu Jaya, aku tersulut emosi. Pikiranku kembali melayang, membayangkan aku berada di ring tinju. Sedangkan Bu Luki serta Bu Erte dan para penyanjungnya itu tergolek lemah karena telah kutinju habis-habisan.

"Mbak Mama Vida, aku pulang dulu, ya. Sudah waktunya jemput suami di terminal."

"Sipp, hati-hati, Bu Jay!" timpalku.

Selang beberapa detik, Bu Luki keluar dari rumahnya. Ia tampaknya bersiap untuk pergi ke kondangan. Tapi, kondangan siapa? Bukannya ini hari Rabu? Bukan hari weekend.

Merasa ingin tahu, hatiku bergejolak, antara bertanya atau acuhkan saja. Sontak beberapa tetangga lain muncul dengan pakaian glow up maksimal. Bukan karena skinker, mungkin obrasan necinya kebanyakan di baju mereka. Hingga terkesan norak dan kampungan menurutku. Ih, hatiku julid banget, ya? Tapi, kalo gak karena mereka, aku nggak akan berpikiran begini. Tul, nggak?

"Wah, kok pada cantik. Mau ke mana nih, ibu-ibu?" tanyaku sembari memegang selang air yang melingkar di keran air. Berpura-pura menyiram tanaman adalah ninjaku untuk sekedar basa-basi, mencari tahu apa yang mereka lakukan.

"Oh, iyaa. Ini lagi mau ke rumah Bu Rohman, anaknya sedang ada lamaran."

What?! Lamaran? Oooh, iya baru tahu kalau Bu Rohman adalah pengikut setia Erte and the gank.

"Ya ya ya," timpalku memaksa keadaan untuk menerima kenyataan bahwa begitu malangnya nasibku menjadi tetangga tiri di RT Lima ini.

Selang air yang sedari tadi kupegang, langsung kulempar saja di teras rumah. Pagar besi yang tak berdosa, menjadi pelampiasan kekesalan yang baru muncul di hati.

'Awas saja, benar-benar tetangga sialan!' batinku dongkol.

Dari luar awan sore terlihat mendung, aku berkali-kali memeriksa sekitar. Berharap suamiku datang lebih awal, karena kebencianku seolah memuncak setelah mendengar beberapa orang yang ramai di pojok komplek. Ya, mana lagi kalau bukan rumah Bu Rohman.

"Assalamualaikum."

Wah, itu pasti suamiku, Mas Tomi.

Bersambung

Penghuni RT LimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang