1. New one, same person

271 22 6
                                    

Manusia bisa berubah. Kenangan tidak.

Langit Bandung di pagi hari tak ubahnya piringan hitam yang memutar lagu-lagu lama. Sesuatu yang sudah tergeser oleh yang baru namun ketika diperdengarkan seolah mesin waktu yang melempar ingatan pada kenangan tertentu.

Berkali-kali dikunjungi, baru kali ini rasanya perempuan itu mengingat seseorang sejak berangkat hingga tiba.

Mungkin lamanya waktu membuat kualitas rindunya semakin lama semakin pekat. Semakin dibiarkan semakin sulit menghindar.

Ya. Pagi ini bukan cuma ketukan heelsnya yang berbunyi, detak jantungnya lebih-lebih lagi.

Entah apa sebabnya. Mungkin ... Seseorang yang baru saja terlintas di ingatannya. Mungkin.

*

"Gue denger dia baru naik, tapi kelakuannya udah kayak setan!" bisik salah satu salesman di barisan paling belakang.

"Dia bukannya pernah jadi admin di cabang Jakarta, kan?" ujar Sales Modern Trade berjilbab merah dengan raut meremehkan. Jelas bukan raut wajah yang ingin dilihat perempuan yang sedang mereka bicarakan.

"Iya. Karirnya tuh nggak masuk akal, tau. Masa baru jadi admin berapa tahun tahu-tahu ke HO. Nggak lama jadi SPV megang General Affair. Terus jadi asmen. Lima tahun sekarang dipindah suruh megang operasional seluruh cabang. Gue curiga doi main dukun," jelas salesman 1 seolah paling paham seluk beluk dunia seisinya.

"Dengar-dengar anak kesayangan Pak Fadil. Ya kalo gitu sih ya nggak bisa nyalahin juga."

"Hah? Yang sekarang jadi Teritorial Manager?"

Mbak-mbak berjilbab merah itu kemudian mengangguk. "Gue curiga–"

"Sssh!" Supervisor Admin cabang Malang yang baru tiba menghentikan pergunjingan duniawi antara dua anak buahnya itu. "Jangan ngaco kalo nggak tahu apa-apa. Dia kalo marah, serem!"

"Iya, Pak? Tapi isu ini tuh udah hampir jadi rahasia umum."

"Jangan diterusin. Kupingnya beliau dimana-mana."

Obrolan terhenti ketika staff HRD yang akan mempresentasikan perihal fitur absensi baru mulai memberi salam. Di sebelahnya, perempuan yang pagi ini jadi bahan gunjingan se-cabang Bandung justru duduk tenang dengan tablet di tangannya, dan earphone yang tidak lepas sejak kakinya menginjak tanah Paris Van Java itu.

Entah apa yang didengarkannya. Apakah lagu baru Tulus, atau senandung murrotal Fatih Saferagic.

Ah, sepertinya tidak mungkin yang ke dua. Karena ... hm, tidak jadi. Dia tidak suka dibicarakan.

"Aku balik ke Jakarta sore ini. Ketemu di Starbucks dekat kantormu jam 5 sore bisa kan?"

"Gila! Jam segitu aku baru keluar kantor."

"Ada hal yang mendesak harus aku ceritain. Please ..."

"YA."

Seutas senyum kembali jadi pembicaraan di ruangan berpendingin udara empat buah itu. Agaknya jawaban ketus dari rekannya justru membuat Bu Ghin alias Ibu Ghina yang terhormat tersenyum simpul.

Janji temunya sore ini lebih-lebih membuatnya berbunga. Setelah lama tak berjumpa, hari ini akhirnya tiba. Temannya sibuk luar biasa. Dia apalagi.

Lima tahun ia menahan diri. Berdiam menganggap semuanya seolah baik-baik saja. Naik turunnya hidup ia telan sendiri tanpa ada yang tahu bahwa di balik semua kebengisan dan ketegasannya, ada luka yang tak pernah sanggup ia sembuhkan seorang diri.

Dia ingin menuang beban. Dan satu-satunya orang yang muncul di benaknya selalu hanya dia. Karibnya sejak dulu kala.

*

G H I N A 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang