Ghina masih mematung dibelakang kemudi mobilnya. Malam yang dia pikir akan berakhir seperti biasanya—bercerita, tertawa, mentransfer rindu, berkeringat bersama, dan lain sebagainya, tiba-tiba berubah jadi perbincangan yang dalam dan gelap. Ah, bukan perbincangan. Lebih tepatnya Ghina yang bergelut sendiri dengan dirinya.
Ben bahkan harus berhati-hati untuk tidak membuat Ghina mengeluarkan segala uneg-uneg yang dipendamnya.
Tapi gagal. Kali ini semua trik tidak berhasil. Ghina tetap memekik. Memaki. Menjerit seolah kalimat ajakan Ben begitu salahnya hingga ia semarah itu.
Ya. Ghina terserang panik–lagi. Emosi Ghina kembali berantakan. Pikirannya bak diterjang badai besar dan berserakan. Sulit meredamnya bahkan setelah Ben yang melakukannya, orang begitu Ghina percaya.
"Kenapa?! Supaya kamu bisa nindas aku dan jadiin aku kacung?!"
Ben tidak terkejut. Ini sudah kali ke tiga dia menyaksikan Ghina tak bisa mengendalikan diri.
"Supaya kamu bisa leha-leha di rumah, makan enak, tidur nyenyak, kalo kurang bener tinggal komplen, ada yang bisa bayarin utang, beliin jaket, gofoodin makanan, terus nurutin semua fantasi seks kamu yang kayak setan itu?! HAH!"
Ben menarik tangan Ghina ke dadanya. "Sayang ..."
"Ibukku nyekolahin aku tinggi-tinggi bukan buat jadi kacung, Ben!"
"Iya, iya. Nggak ada yang minta kamu begitu."
"AKU NGGAK BUTUH ORANG LAIN. AKU NGGAK MAU BERGANTUNG SAMA ORANG LAIN! AKU BISA CARI UANG SENDIRI. AKU BISA BAYAR BILL SENDIRI, NYARI HIBURAN SENDIRI, BAYAR HIDUPKU SENDIRI. AKU NGGAK BUTUH DIBIAYAIN SIAPAPUN."
Ben mengusap pundak Ghina yang bergejolak tak beranturan.
Tiba-tiba air mata Ghina mengalir, semakin deras bahkan diiringi erangan kesal sambil sesekali memukul-mukul kepalanya sendiri. Ia menangis sesenggukan.
Ben tahu ... Fase ini sudah semakin dekat ke akhir pertarungan Ghina dengan emosinya yang tidak stabil. Ben hanya harus bersabar dan menunggu.
"Aku capeeeeeekkk!!! Demi Allah aku capeeeeekkk!!!"
"Kenapa Tuhan nggak sayang sama aku! Kenapa Tuhan nggak kasih aku hidup yang mudah! Kenapa!"
Ben tak tahan. Ditariknya kepala Ghina wajah mereka sejajar. Di tatap dalam mata itu. Ben mengintimidasi Ghina bahkan ketika perempuan itu tak lagi berdaya. Ia tak di sana. Ghina tak sedang berada di pikiran rasionalnya. Ghina sedang tersesat dalam kusutnya masalah yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
Ghina terperosok terlalu dalam. Sangat dalam hingga tangannya tak mampu meraih tepian sungai amarah yang masih begitu deras menguburnya.
"Ghina Amalia Wigati!"
Ghina tersentak.
"Kamu di mana?"
"Ak-aku—"
"Nggak! Ini bukan kamu. Balikin Ghina aku yang baik."
"..."
"Balikin Ghina-ku!"
Ghina tertunduk. Tangisnya mereda.
"Aku nggak mau Ghina yang ini. Aku mau Ghina yang lembut dan baik."
Ghina masih menunduk. Tapi pundaknya kini tak lagi berontak.
"Aku mau Ghina yang ketemu Ben sepuluh tahun lalu. Aku mau Ghina yang nggak takut ngadepin apapun. Aku-mau-Ghina-yang suka meluk aku kapan pun, di mana pun."
Ghina mengangkat kepalanya.
"Bukan Ghina yang marah-marah sama aku."
Ben kemudian menarik Ghina ke pelukannya. Ghina kembali menangis kencang bak anak kecil yang baru bertemu ayahnya setelah berpisah beberapa tahun lamanya.
Ben berusaha menyalurkan segala energi positif yang ia punya. Tangannya tak henti mengusap perlahan belakang kepala Ghina. Yang satu lagi menepuk-nepuk punggung Ghina.
"It's okay, sayang ... It's okay. Kamu aman."
"Maafin aku, Ben ..." ucap Ghina tersendat-sendat.
"It's okay. Kamu sama aku."
"Jangan tinggalin aku, Ben ..."
Ben terdiam.
"Jangan tinggalin aku ..."
Tak lama setelah mengucapkan itu, Ghina tertidur di pelukan Ben. Ben yang mulai merasakan keram di tangannya kemudian menidurkan Ghina di kursi.
Memandangi Ghina yang berjuang habis-habisan melawan traumanya membuat Ben kembali merasa cemas. Sebegitu dalam luka yang diderita perempuan itu. Sebegitu sakitnya dia.
Lalu penyesalannya tiba. Andai dulu dia tak terlalu banyak berpikir lain perkara. Andai dulu ia tak ambil pusing, persetan apakah Ghina menyukainya atau tidak. Harusnya, ia lebih peka dan bisa menilai bahwa perempuan ini sama tergila-gila nya dengan dia.
Seharusnya ... Jika dulu dia tak terlambat menyatakan cinta, mungkin Ghina tak perlu sebegini menderitanya.
Sayangnya, ketika ia berniat menebus dosa dan membuat segalanya lebih mudah bagi mereka, Ghina dihalangi oleh tembok tak kasat mata.
Di sebelahnya, kini Ghina tengah melerai dirinya dan alter egonya. Momen Ghina 'kesurupan' memang sangat jarang terjadi, namun jika itu terjadi maka ia akan berubah dalam beberapa hari. Jika sebelumnya ia banyak bicara, kali ini ia akan lebih memilih diam. Jika biasanya ia adalah komunikator yang asertif, maka kali ia akan jadi pasif, atau posesif. Segala kemungkin bisa saja terjadi.
Tapi beruntungnya, dari segala bentuk perubahan yang Ghina tunjukkan, salah satu yang menarik justru ia akan menjadi gadis manja untuk Ben.
Ghina yang super mandiri tiba-tiba...
"Sayang, aku laper ..."
Ghina tak suka mengungkapkan perasaan secara langsung. Ia tak suka memanggil sayang atau sejenisnya secara terus menerus. Namun kali ini, setelah satu jam ia dibiarkan Ben tidur pulas, Ghina bangun dengan senyum manis sembari meminta makan.
Wajahnya menggemaskan, meski matanya sembab dan bengkak.
Apa Ghina ingat apa yang sudah ia lalui tadi?
Jawabannya, tentu saja tidak.
Ghina benar-benar setengah sadar ketika pergolakan itu terjadi. Karena itulah Ben perlu memanggilnya 'pulang'.
"Sayangku mau makan apa?" tanya Ben.
"Bubur ayam?"
"Boleh," jawab Ben sambil mengusap kepala Ghina.
Begitu malam itu berjalan hingga Ben mengantar Ghina kembali ke parkiran mobil untuk mengambil mobilnya dan pulang. Ghina bersikukuh tetap ingin mengambil mobilnya dan berkendara sendiri karena ia tidak merasa sakit, tidak sedang sekarang, juga sehat lahir dan batin. Apa yang perlu di khawatirkan?
"Nanti kamu capek, sayang. Aku anter aja ya?" bujuk Ben.
"Aku nggak capek, Ben. Ya capek kerja biasa lah. Bukan kayak abis ngangkat beras sepuluh ton atau lari keliling lapangan sepakbola. Lagian kamu kenapa sih? Biasanya kalo aku mau pulang juga nggak sampe begini."
Jelas Ben khawatir. Hanya saja ia bingung bagaimana cara menyampaikannya.
"Okay, okay, tapi nyetirnya sambil telpon, ya?"
Dahi Ghina berkerut. "Kamu kenapa sih?"
"Aku khawatir sama pacarku emangnya nggak boleh?"
"Ya tapi ini masih jam 1, Ben. Rute aku pulang juga masih rame kok."
"Pokoknya pilihannya cuma 2, aku anter atau nyetir sambil telpon."
"Okay. Fine."
Begitulah akhirnya hingga Ghina kembali ke mobilnya, mengendarai seorang diri dengan perasaan senang, tapi hampa, tapi bahagia, tapi nggak tahu seolah ada yang kurang, tapi apa? Dia pun tak paham.
Diam-diam Ben yang masih terhubung dengan Ghina lewat sambungan telepon mengikuti Ghina hingga ia bisa memastikan bahwa Ghina benar-benar aman hingga di depan rumahnya.
Ben tersenyum tipis.
"Can we make it?"
To be continued...
_______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
G H I N A 2.0
Romancewhen sunflower bloom ... Banyak hal yang hanya bisa selesai begitu dijalani tanpa ekspektasi. Tanpa perlu teori dan literatur apalagi berbasa basi. Terjal, mungkin. Tapi hidup memang bukan cuma soal prediksi dan ancang-ancang manusia semata. Di ata...