Ghina mengingatnya. Sisi terburuk dirinya yang pernah ia saksikan lewat rekaman video psikiater persis dengan yang tempo-tempo ia tunjukkan pada Ben. Ia ingat betapa beringasnya ia marah. Betapa besar gumpalan emosi yang siap ia ledakkan mana kala pelurunya telah selesai dikokang.
Ghina sadar. Dirinya tak patut menjadi beban siapa pun. Tidak untuk Ben. Tidak untuk perusahaan yang menaunginya.
Di meeting hari itu beberapa head departemen sepakat bahwa Ghina tidak boleh berjalan sendirian. Proyek yang terlewat ambisius bukan hanya petaka bagi sub ordinatnya melainkan sesama petinggi.
Oleh sebab itu ditariklah Aldi, head IT yang akan berkolaborasi dengannya. Membuat media yang bukan hanya memudahkan namun juga terukur.
Untuk sementara ruangan Aldi yang berada di lantai 5 dipindahkan ke lantai 6, persis di lantai yang sama dengan departemen sales analysys dan bisnis operasional.
"Sebenarnya tidak perlu sampai harus pindah ruangan segala, Pak," ucap Ghina sembari mengupas kacang di pantry. Di depannya Pak Fadil tengah mengaduk kopi tanpa gula. "Ada interkom. Ada WhatsApp. Apa lagi yang kurang?"
"Dekat di mata itu lebih bagus ketimbang cuma dekat di media, Ghin. Rawan salah paham."
"Terserah bapak saja. Yang penting meeting koordinasi jangan ditunda, ya, Pak. Saya nggak mau dituduh pemalas cuma gara-gara time line nya geser."
"Justru kamu kecepetan. Orang finance itu lho kelabakan. Besok coba siapkan dulu materinya. Nanti saya minta Aldi ke ruanganmu untuk nyusun."
"Saya sudah punya materinya. Tinggal Mas Aldi eksekusi sesuai kebutuhan saja."
"Mana bisa begitu." Pak Fadil kemudian beranjak. "Sudahlah, besok ajak Aldi meeting dulu. Bahas yang pokok dan materi yang kamu bawa. Biar dia bisa menganalisa mau dibawa ke mana arahnya."
Ghina mengerutkan dahi. Tapi enggak bertanya.
"Meeting di luar saja. Ruang meeting besok full mau dipakai HR buat bahas Family Gathering."
"Semuanya? Kita punya ruang meeting 5 lho, pak."
"Ya. Konsumsi, acara, humas, lain-lain lah itu saya juga nggak ngerti. Pak Yos yang pegang tim langsung. Kalo kamu mau nyela ya bilang saja."
Ghina hanya bisa pasrah. Ketimbang berurusan dengan direktur HRD ganjen dan keras kepala itu dia mending mundur.
Hari berikutnya tak ada beda. Ghina berangkat pukul tujuh. Mengantar Bintang ke sekolah, kemudian ke laundry sebab Bu Nasri sedang tidak enak badan. Mampir sarapan ke kedai kopi yang jaraknya lima ratus meter saja dari rumah. Mengecek email dan materi hari itu. Kemudian beranjak menuju kantor.
Diiringi lagu Dibawah Langit Sore Ghina melaju santai. Pagi yang cukup lengang.
"Hei, sayang! How was your day?" Sapa Ben dari sambungan video call tak lama kemudian.
"Sepagi ini kamu udah nanya bagaimana hariku? Semua agendaku masih jadi rencana, Ben. Mana bisa ditanya begitu. Kecuali kamu nanya jam–"
"Kayak aku nggak ngerti kamu aja. Sepagi ini pasti kamu udah obrak abik materi mssting. Cek schedule setelahnya. Mikirin makan siang dimana. Sama siapa."
Ghina tertawa. "Terlalu tepat."
"Anyway ... Sore ini ke apart, ya."
Ghina memutar mata. "Seingatku nggak ada perayaan kita dalam waktu dekat."
"Making memories kan nggak harus nunggu hari spesial, sayang. Semua hari juga spesial kalo sama kamu."
"Gombal!"
KAMU SEDANG MEMBACA
G H I N A 2.0
Romancewhen sunflower bloom ... Banyak hal yang hanya bisa selesai begitu dijalani tanpa ekspektasi. Tanpa perlu teori dan literatur apalagi berbasa basi. Terjal, mungkin. Tapi hidup memang bukan cuma soal prediksi dan ancang-ancang manusia semata. Di ata...