17. What a pity

82 6 3
                                    

Hari-H

"Pakai alasan apa bisa izin jam segini? Nggak mungkin sakit dong?" tanya Ben dalam perjalanan menuju kampus mereka.

"Coba tebak."

"Urusan keluarga?"

"Pak Fadil tahu keluargaku di Malang. Jadi nggak mungkin."

"Pasti urusan sekolah Bintang."

"Pak Fadil tidak sebodoh itu, Ben. Anak sekolah baru selesai penilaian tengah semester. Anaknya juga pasti libur. Keliatan dong bohongnya."

"Nyerah. Aku nggak ngerti lagi. Pasti alasanmu rada aneh."

"Aku bilang mau ke psikolog."

"What? Terus dia percaya?"

"Iya lah. Kantorku lagi gencar-gencarnya ngangkat isu mental health. Aku bilang kayaknya aku perlu refreshment ke psikiater. Jadi single parent dan mengurus banyak hal belakangan ini bikin aku kadang secara nggak sadar melakukan hal-hal jahat sama diri sendiri. Aku bilang, aku butuh konsultasi buat benerin diri aku."

"Wow. Dan dia percaya?"

"Man! Untuk ukuran orang yang mengerti kondisiku sejak masih single sampai jadi single parent, nggak mungkin beliau nggak kasih izin."

"Jadi, sekarang aku yang jadi psikiaternya?"

Ghina meletakkan kepalanya di bahu Ben. "You will always be my Psychiatrist."

Ben mengusap pipi Ghina dengan tangan kiri sementara yang kanan memegang kemudi. "Jangan jahat sama diri sendiri. Kamu tahu kamu bisa minta aku ambil sebagian tanggung jawabmu kapan pun kamu mau."

"I know."

Keduanya lantas menghabiskan sisa perjalanan dalam hening. Sesekali Ghina mengecek ponsel. Sesekali pula Ben menerima telepon dari kantor.

Semua berjalan santai. Ben bertemu panitia seminar begitu tiba di kampus sementara Ghina memilih berjalan-jalan di sekitar fakultas.

Tidak ada banyak perubahan di kampus mereka kecuali pohon yang semakin tinggi dan beberapa fasilitas yang ditambah untuk kenyamanan mahasiswa.

Padang rumput yang dulu haram diinjak, kini dibuat jalan membentang yang menghubungkan sisi ruang belajar dan perpustakaan yang berseberangan sehingga siapa pun bisa menyeberanginya tanpa mendapat sorakan. Dulu, ketika masih berstatus mahasiswa baru Ghina pernah melakukannya. Malunya tak berhenti bahkan hingga tiga hari kemudian karena ketika itu sebagian mahasiswa tengah berada di depan kelas menunggu kelas berikutnya. Termasuk Ben yang ikut menertawakan kelakuan konyol Ghina dari lantai dua.

Pohon rindang yang yang dulu menjadi tempat favorit anak mapala menghabiskan waktu kosong kini diisi beberapa gazebo dan bangku-bangku terbuka.

Dan di salah satu bangkunya, seorang perempuan dengan kemeja merah muda, kerudung putih dan celana senada tengah duduk melihat ke arahnya sembari tersenyum.

"Prisil? Sedang apa di sini?" tanya Ghina ketika sudah dekat. "Kamu tahu Ben ada urusan di sini?"

Prisil mengangguk. "Duduk, Ghin."

"Maaf–"

"Aku kesini bukan untuk menghabiskan energi dengan membahas hal yang itu terus."

"Lalu?"

"Gary sudah cerita bahwa kami akan segera bercerai?"

Ghina terpaku. Entah mengapa dia tidak begitu terkejut dengan ungkapan Prisil barusan. Seolah dia sudah mengerti bahwa memang itulah yang seharusnya terjadi.

G H I N A 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang