5. Pain

108 15 2
                                    

547 hari yang lalu ...

Di tengah ruang keluarga yang hening. Ditemani lima cangkir teh yang masih mengepulkan asap.

Tanpa riuh suara anak-anak yang biasa saling berebut mainan.

Empat orang dewasa khusyuk mendengarkan penjelasan anak tengah Ibu Mia.

"Apapun keputusan akhirnya kamu tetap harus cerita apa alasannya, Ghin," kata Rinjani kemudian.

"Aku nggak mau Bintang dan Kala dengar hal yang buruk tentang orang tuanya di kemudian hari, Mbak. Karena kalau sudah keluar dari mulutku, aku nggak bisa jamin cerita itu nggak akan kemana-mana."

Ghina paham betul dengan keluarganya. Meski tak berniat mengumbar, tetap cerita yang ada di kepalanya itu akan keluar dari lingkup mereka. Setidaknya ke Om Wisnu dan kalau Om Wisnu sudah dengar pasti .... Ah, sudahlah. Ghina tak sanggup menanggung penyesalan lagi.

"Ghina cuma mau Ibu ridho dengan keputusan Ghina." Air matanya jatuh. "Ghina tahu ... Sudah terlalu banyak hal memalukan yang Ghina lakukan sejak dulu. Ghina sadar perceraian ini mungkin akan semakin menambah rasa malu ibu, tapi kalau diteruskan  Ghina sudah tidak sanggup, Bu, Mbak."

"Setidaknya beri kami penjelasan yang masuk akal supaya kami mengerti. Jangan cuma tekanan batin, mental, beda visi misi. Apa itu Ibu nggak ngerti," ucap Ibu.

"Pernikahan ini diawali oleh sesuatu yang salah. Ibu juga tahu itu. Tanpa restu yang lepas dari Ibu. Tanpa kerelaan dari Mbak Jani juga. Mungkin memang pantas kalau harus berakhir begini. Karma untuk Ghina karena nggak nurut sama Ibu dan Mbak Jani."

"Jangan bertele-tele sih, Ghin. Ngomong aja yang jelas. KDRT? Artha selingkuh? Nggak ngasih nafkah? Apa?" tanya Rinjani dengan suara lebih tinggi.

Semua, Mbak.

"Begini, Ghin ..." Mas Pras kali ini menegakkan punggungnya. "Kita apa nggak bisa rembukan sama Artha juga? Kalau gini keluargamu justru akan nganggap dia pengecut dan lebih condong ke nggak peduli dengan pernikahanmu. Nggak menghargai keluargamu."

"Dia mau. Tapi aku larang."

"Kenapa?"

"Nggak ada gunanya, Mas. Karena mungkin bagi orang lain ini hanya masalah rumah tangga yang semua orang pasti mengalami. Ujian pernikahan. Dia pun menganggap begitu. Tapi kekuatan setiap orang kan nggak bisa disamaratakan."

"Mbulet aja kamu tuh dari tadi, Ghin ..." Rinjani mendengus mulai kesal.

Mungkin memang harus diberi tahu sedikit. Setidaknya kulit dari permasalahan mereka. Agar keluarganya bisa menerima. Begitu pikir Ghina.

Ghina menyibakkan rambut yang menutupi pelipisnya. Tampak samar segaris bekas luka sepanjang dua centi meter di atas garis alisnya.

"Ini bekas dilempar asbak sama Artha."

Rinjani melotot. "Gara-gara apa?"

"Dia nggak masuk kerja karena alasan nggak punya bensin. Aku juga nggak punya uang. Aku minta dia minjem uang sama temennya dia nggak mau. Malu katanya. Aku ngomel sepanjang memasak di dapur sementara dia ngerokok di depan televisi. Nggak lama dia teriak. Aku noleh, pas banget dia lempar asbaknya ke aku. Katanya aku nggak bisa ngerti kalo dia lagi pusing mikirin kerjaan."

"Kurang ajar!"

Ghina merogoh tasnya.

"Ini keterangan dokter kalau mulut rahimku infeksi dan harus di rawat lima hari," lanjut Ghina sembari menyodorkan amplop putih betuliskan nama rumah sakit tempat ia dirawat. Rinjani cepat-cepat mengambilnya. Membuka dengan tidak sabar hingga menarik napas berat ketika membaca diagnosa dokter.

G H I N A 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang