18. After that

77 1 0
                                    

Ghina duduk di salah satu tribun penonton lapangan basket di kampusnya. Memandangi bagian lapangan terjauh darinya dengan pikiran yang tidak sedang bernostalgia. Sepeninggal Prisil ia merasa ada sesuatu yang kini terasa janggal.

Apakah dirinya yang dipersilakan berhubungan dengan Ben tanpa sembunyi-sembunyi ini adalah hal yang benar? Atau ini hanya salah satu 'transit' sebelum ia naik ke masalah romansa yang lainnya. Sebab jika diingat-ingat, rasanya tak sekali pun hubungannya berjalan normal dan tenang. Jika tidak meninggalkan trauma, maka sudah bisa dipastikan itu menyakitkan.

"Hei, ngapain sendirian? Aku muter-muter nyariin dari tadi." Ben yang baru tiba kemudian berdiri di depan Ghina. Mengangkat sedikit dagu perempuan itu agar bisa ia lihat dengan jelas emosi seperti apa yang sedang ia rasakan.

"Kamu kenapa ngelamun, hm?"

Ghina tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Lagi inget dulu kamu sama Abin suka main di sini."

Ben mengambil tempat duduk di sebelah Ghina. "Are you okay?" tanya Ben.

"Ya. Memangnya kenapa aku harus nggak baik-baik saja? Aku di sini," Ghina menangkup tangan Ben, "sama kamu. Di tempat pertama kali kita saling suka. Bedanya dulu aku nggak bisa duduk begini sama kamu."

"Kenapa dulu nggak bisa, ya? Padahal kalo dipikir-pikir lagi harusnya bisa."

"Complicated. Terutama aku. Aku harus mengurus banyak hal. Bertanggung jawab untuk banyak hal. Kondisi ekonomiku dulu nggak baik, Ben. Kamu tahu itu. Terlebih kesehatan mentalku. Aku selalu merasa nggak pantas untuk dicintai karena terlalu membawa energi negatif."

"Yang aku lihat dulu nggak begitu."

"Ya ... Ponselku juga tampilannya bagus. Tapi aku nggak tertarik sama isinya. Soalnya banyak kerjaan. Fisiknya bisa asik, dalemnya nggak ada yang tahu."

"Salah. Akunya yang kurang gentleman. Coba kalo dulu aku maksa, mungkin sekarang udah punya anak lima."

Ghina tertawa. "Kayak aku bakal mau aja."

"Masa enggak?"

"Beda lah. Dulu pikiranku belum setenang sekarang."

"Belum seberani sekarang juga."

"Iya."

Ben berdiri lalu menarik tangan Ghina. "Seharusnya kita ke sini untuk senang-senang. Bukan malah mengingat yang sedih-sedih. Mau makan nggak?"

"Kamu nggak dikasih makan tadi?"

"Dikasih. Tapi nggak aku ambil." Jari jemari Ben menggenggam setiap ruas jari Ghina erat. Seolah semua yang belum pernah mereka lakukan dulu ingin ia tebus hari ini. "Aku pengin makan di kantin teknik sama kamu."

Ghina mengekor saat Ben menariknya ke salah satu kantin yang jadi basecamp Ben ketika kuliah dulu.

"Loh, kayak kenal," ucap salah satu pemilik kedai yang terlihat cukup sepuh.

"Bang Deri apa kabar?" Ucap Ben sembali menjabat tangan orang yang dipanggilnya tadi. "Gary, Bang. Yang dulu suka ngutang di warung. Masa lupa?"

Bang Deri seperti baru menemukan ingatan masa lalunya.

"Masyaallah, Gary elektro?"

"Iya, Bang. Bang Deri sehat?"

"Ya, begini lah, Gar. Alhamdulillah wae. Eh, sama siapa ini?" Bang Deri beralih ke Ghina. "Istri kamu?"

"Bu–"

"Iya, Bang. Istri. Kenalin, Ghina."

Ghina yang tadinya hendak menjawab 'bukan' seketika bungkam. Matanya melirik tajam ke mata Ben yang tidak sedikit pun merasa bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

G H I N A 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang