7. Our place

93 14 5
                                    

Keduanya bangun sekitar pukul tiga sore. Ghina yang duluan sadar dari tidurnya, namun tidak tega untuk menarik diri dari Abin yang sepertinya sangat pulas. Tak lama setelahnya barulah Abin menggerakkan badan.

"Eh, kamu udah bangun dari tadi?" tanya Abin kemudian melepas kungkungan tangannya dari Ghina.

"Belum lama."

Abin memeriksa leher dan tengkuk Ghina. "Kamu nggak keram kan aku peluk dari tadi?"

Ghina menggeleng. Meski sebenarnya lehernya sedikit pegal, tapi tak apa. Baru kali ini ia membiarkan Abin tidur begitu lama di dekatnya. Bukan lagi dekat, tapi berpelukan. Andai orang lain atau Mona melihat keadaan mereka ketika tidur tadi pastilah akan marah sejadi-jadinya dan memukul Abin dengan benda keras apapun yang ada di sekitarnya.

Tak peduli jika Ghina membela dan mengatakan bahwa dialah yang ingin dipeluk Abin, tetap saja, Mona akan marah. Abin modus. Abin memanfaatkan kesempatan. Abin mata keranjang. Abin bla bla bla.

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Abin setelah keluar dari kamar mandi.

"Artha masih di rumah. Nanti aja."

"Kenapa jadi kamu yang harus kabur ya? Itu kan rumahmu."

"Yang didatangi kan anaknya."

Abin menghela napas. "Mau sampai kapan begini, Ghin?" tanyanya sambil menenggak air mineral.

Ghina mengedikkan bahu. "Seumur hidup, mungkin."

"Ya pasti seumur hidup sih kalo nggak berani ngejauh."

"Maksudnya?"

"Pergi ke luar kota. Atau ke luar negri sekalian. Was was karena takut ketemu orang yang nggak dimau itu lebih bikin stress ketimbang disuruh bikin KPI, iya kan?"

Ghina tertawa. "Iya."

"Terus soal .... Umm." Abin ragu meneruskan kalimatnya. Entah ini saat yang tepat atau tidak, tapi sungguh penasarannya sudah di ubun-ubun sejak dia berencana pulang beberapa bulan yang lalu. Di sisi lain, dia takut jika hal ini akan membuat Ghina sedih.

Sebab tanpa disadari oleh wanita itu, Abin sudah tau semuanya.

"Aku boleh nanya sesuatu nggak, Ghin?"

"Mau bilang nggak boleh juga ujung-ujungnya pasti nanya juga. Apa?"

"Kamu masih ketemu Gary?"

"Ben? Udah enggak. Terakhir bulan lalu. Kenapa?" Ghina menoleh. Memastikan raut wajah Abin.

"Sorry, aku tahu mungkin kamu nggak nyaman buat bahas dia."

"Nggak apa-apa kali. Toh aku sama dia memang nggak ada apa-apa kan."

Ghina kemudian sadar. Mungkin ia terlalu menganggap remeh Abin selama ini. Mungkin benar ... Ghina terlalu menganggap Abin tidak ada.

Ia kemudian menoleh sekali lagi. "Kamu tahu?"

"Hampir semuanya."

"Nggak mungkin."

"Gary cerita ke aku."

"Sejak kapan kalian berteman?"

"Nggak temenan juga sih. Cuma pernah ketemu. Dia free, kebetulan aku juga. Jadi ya ... terjadilah obrolan dua laki-laki dewasa dari siang sampai sore. Cukup lama untuk bahas satu orang doang." Abin kemudian tertawa rendah. "Setelah dengar ceritanya, aku sadar kalo ternyata selama ini memang aku nggak tahu apa-apa soal kalian."

"Nggak ada yang tahu."

"Mona?"

"Dia cuma tahu kalau kami saling suka bahkan setelah sama-sama menikah. Nggak lebih."

G H I N A 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang