Bab 2

459 10 0
                                    

Bab 2

Sesuai anjuran pria itu, akhirnya Hana mencoba melakukan aborsi sendiri dengan cara minum obat keras demi mengeluarkan janin tak berdosa tersebut. Makan sate kambing, durian, nanas dan beberapa makanan yang dapat memicu keguguran atas informasi yang didapatkan dari aplikasi pencarian di dunia maya.

"Dra, aku sudah melakukan apa yang kamu suruh dan informasi dari internet. Tapi kayaknya tidak berhasil, aku belum pendarahan atau sejenisnya," ucap Hana pelan saat mereka bertemu kembali di kafe yang sama.

Kafe ini adalah kafe favorit saat mereka berkumpul dengan teman sekelas. Umur mereka terpaut empat tahun, Mahendra baru saja lulus sarjana strata satu jurusan Bisnis Manajemen sementara Hani baru menyelesaikan sekolah menengah atas. Mereka sama-sama akan melanjutkan kuliah. Bedanya, Mahendra memilih kuliah S2 di negara sakura dengan jurusan lanjutan bisnis dan Hana mengambil kuliah kedokteran di tanah air.

"Kamu yakin sudah makan durian dan nanas yang aku beli? Semuanya?" Raut wajah penuh  kegelisahan itu mengurangi sedikit  ketampanan sang kekasih. Dia sudah berusaha mencari jalan keluar yang menurutnya itulah  harapan satu-satunya.

Hana mengangguk, dia sampai merasa eneg ketika harus menghabiskan beberapa biji durian  dan nanas dalam beberapa hari tanpa sepengetahuan ibu.

Ketika ibu mengantar kue pesanan kerabat atau tetangga, saat itu pula dia mulai aksinya, menghabiskan buah nanas dan durian yang berbau khas.

Menghela napas berulang, frustasi  kemudian pria itu mulai berucap. Beberapa hari dia sudah mencari cara lain jika ide pertama untuk menggugurkan janin itu gagal. Dia punya satu ide terakhir yang akan dijelaskan siang itu kepada Hana.

"Kita butuh bantuan orang."

"Maksudnya?"

Hana bingung apa maksud pernyataan itu. Dia dengan bodohnya melakukan apapun demi  menghilangkan jejak benih sesuai keinginan pacar yang belum siap menikahinya.

"Kita cari orang untuk mengeluarkan janin dari perutmu, Han. Sejenis dukun beranak atau paraji."

Detik itu pula, raut wajah Hana terlihat ngeri saat mendengar kata dukun. Di benaknya terlintas sosok yang menyeramkan dengan cincin besar bersemayam di kesepuluh jari mereka, rambut acak dan janggut panjang dan memutih.

"Ini alamatnya, kita bisa mencari dia. Mbok yang kerja di rumah bilang, biasanya banyak orang ingin menggugurkan janinnya bisa minta bantuan mereka dan rata-rata berhasil pada hari itu juga."

Dengan nada antusias Mahendra mengungkapkan rencananya. Dia seperti mendapatkan titik terang dari masalah tersebut. Seminggu lagi, dia harus terbang ke negara samurai. Mau tak mau, dia harus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu sebelum benar-benar meninggalkan sang kekasih dan berjanji akan kembali dengannya. Bahkan dia mengiming-imingi akan menikahinya jika sudah mendapatkan kedudukan di perusahaan papanya. Iya, pria itu benar sangat mencintai Hana.

"Kita coba, ya. Kamu mau, kan, Han?"

Sebuah gelengan yang artinya tidak setuju pun diberikan Hana kepadanya. Dia terlalu takut untuk melakukan tindakan tersebut.

"Kalau cara itu, aku tak mau, Dra. Itu bakal sakit, aku sudah baca di artikel internet. Aku takut."

Bibir gemetar dengan kening pun mulai dihiasi bulir air keringat dingin. Ruangan memang sejuk, tetapi tidak dengan perasaan kedua insan yang telah melakukan zina tersebut. Mereka terlihat sangat gelisah, takut dan bingung harus bagaimana menghadapi kejadian yang tak disangka-sangka itu telah terjadi.

"Tidak ada cara lain, Han. Kita harus coba. Waktuku sudah tak banyak, seminggu lagi aku harus ke Jepang. Kamu juga harus menjalankan deretan tes kesehatan syarat masuk fakultas impianmu, kan? Ayolah, Han. Kita harus bisa menghadapinya bersama-sama, aku butuh kerjasamamu."

Genggaman tangan yang erat saling menguatkan satu sama yang lain. Mahendra pun tak ingin keinginan untuk melanjutkan kuliah S2-nya batal hanya karena gagal membujuk Hana. Sementara gadis berambut ikal itu terus meminta untuk melamar dan menikahinya saja. Semua urusan akan beres.

"Sudah berapa kali aku bilang, aku belum bisa menikahimu saat ini, tapi bukan berarti aku tidak mencintaimu. Ayolah, Han. Kita sama-sama dewasa, kita pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Kita lakukan saja sesuai rencana awal kita. Tolong jangan mempersulit keadaan ini. Aku sudah pusing memikirkan jalan keluar yang lain, tidak ada yang terbaik selain menggugurkannya."

Perkataan Mahendra sukses menghadirkan gejolak emosi aneh di dada Hana. Air mata yang tergenang mendesak turun, membanjiri pipi padahal ia sudah menahan sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan di depan pria itu. Sorot mata pun menyiratkan kesedihan amat terdalam. Lidah kini kelu, hanya bisa memandangi pria yang ia cintai dari samping, mengatupkan rahang menahan bara yang mulai meletup.

Isakkan demi isakkan terdengar pilu, Mahendra pun tak tega sebenarnya membuat Hana menangis. Dia sadar apa yang diungkapkan barusan akan menyakiti hati. Namun, dia bisa apa? Keinginan melanjutkan studi adalah impian papa yang tengah sakit dan berjuang hidup di Jepang. Orangtuanya sangat menginginkan putra tunggal menghadiahkan sertifikat ijasah dari universitas negara sakura, bukan hadiah aib yang kini ia tancapkan ke sang pacar.

Dia pun semakin merasakan sesal saat syetan dalam diri mulai menggoda pikirannya. Bagaimana mungkin dia mempunyai ide konyol pembuktian cinta dengan mengajak gadis orang untuk bercinta.

Melihat air mata kesedihan, ada perasaaan iba yang muncul di hati terdalam, Mahendra seratus persen sangat mencintai Hana. Andai saja tak terjerat impian papa, mungkin dia akan datang melamar dan menikahi Hana detik itu juga.

Mereka pacaran selama tiga tahun, tetapi orangtua Mahendra sama sekali belum pernah bertemu dengan Hana. Sementara kedua orangtua gadis itu kerap sekali bertemu dengan Mahendra lantaran dia sering mampir ke kontrakan walau sekadar mengantar dan menjemput Hana.

Di mata orangtua Hana, Mahendra adalah sosok pria sopan, supel dan baik. Tidak ada celah buruk yang ditunjukkan pria itu kepada kedua orangtuanya. Namun, entahlah saat ini, apa tanggapan ibu Hana setelah mendapati anak gadisnya tengah hamil karena nafsu yang menggoda jiwa mereka.

Sementara orangtua Mahendra sama sekali tidak tahu kalau putranya sudah memiliki pujaan hati. Selain keduanya sibuk dengan deretan pekerjaan perusahaan, Hana selalu menolak jika Mahendra mengajak untuk diperkenalkan. Alasannya klise, karena dirinya minder. Ayah hanya seorang pedagang bubur dan ibu hanya seorang pedagang kue jajanan pasar.

"Baik, aku akan membatalkan kuliahku di Jepang. Aku akan menikahimu dan meminta restu orangtuaku, Han. Beri aku waktu sampai besok untuk menjelaskan pada Daddy dan Mommy. Aku akan menemuimu di kafe ini lagi besok jam satu siang."

Akhirnya Mahendra luluh dengan permintaan sang kekasih. Dia akan berusaha menjelaskan kepada orangtuanya yang kini ada di Jepang untuk mengurus  perusahaan sekalian segala keperluan yang berhubungan dengan studi putranya. Rencana itu sudah matang diatur sejak beberapa tahun yang lalu.

Keesokkan harinya, Mahendra memandang lekat tiket yang sudah ada dalam genggamannya. Koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya sudah dipersiapkan beberapa hari yang lalu menjadi teman Mahendra di kamar mewahnya.

Kemantapan untuk memilih sang kekasih sudah mencapai level sembilan jika skor tertinggi adalah sepuluh. Pagi ini, dia seharusnya berangkat ke bandara untuk penerbangan ke Jepang, kini diulur demi menelepon kedua orangtua, membahas tentang apa rencana dia selanjutnya yaitu membatalkan studi dan menikahi Hana.

Sebelum dia melakukan panggilan untuk mereka, ponselnya berdering. Ada nama Mommy terpampang di layar benda persegi. Mengusap tombol hijau dan dia menempelkan benda canggih ke daun telinga dengan hati yang gundah dan ragu.

"Apa? Mommy serius?" Dia tak menyangka akan mendapatkan kabar buruk sebelum dia mengutarakan rencananya. Dada bergemuruh hebat, jantung pun berdetak kencang. Sesuatu telah terjadi secara mendadak.

"Baik, Mom. Aku segera terbang sekarang ke sana."

Suaranya bergetar menjawab, terburu-buru dan panik dia menutup panggilan. Koper yang sudah siap pun ditarik dan dibawa keluar kamar. Melupakan janjinya kepada Hana, Mahendra pun segera bertolak ke bandara, membawa segala perasaan berkecamuk setelah mendengar kabar buruk yang datang dari lawan bicara tadi.

7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now