Bab 8

318 7 0
                                    

Bab 8

"Hai, sorry, udah lama?" Masih mengenakan jaket jeans, Hana menghampiri Elena yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya.

"Baru, baru lima belas menit." Dia berucap sambil mengaduk es lemon tea yang sudah dia pesan, mengusir kejenuhan dan haus.

Hana tersenyum tipis, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sore itu, kafe belum ramai pengunjung, apalagi hari ini bukan hari pekan, biasanya kafe nuansa kopi itu agak sepi.

"Ada apa, Len?" Tanpa basa-basi dia langsung menanyakan maksud wanita yang baru dikenal setahun belakang ini. Dia tak ingin berlama-lama di tempat itu.

Awal perkenalan mereka dari sosial media. Elena, si dokter gigi memesan kue ulang tahun untuk keponakannya dari Instagram Hana. Iya, gadis dua puluh lima tahun itu membuka usaha kue online. Kue ulang tahun hasil jepretan Arsenio diunggah dan dipamerkan di halaman aplikasi itu. Selain ada kue basah milik ibunya, kue brownis kukus juga dijual di sana.

Karena insiden hamil itu, Hana tidak bisa melanjutkan kuliah, dia pun berinisiatif menjual kue. Sejak di bangku SMA, Hana sudah bisa membuat kue. Selain hobbi, dia banyak belajar dari ibu dan tutorial dari Y*uTube. Dengan bantuan Arsenio pula, hasil kue itu dijepret begitu apik, menarik perhatian para calon pembeli.

Walau gambar yang di sana terlihat cantik dan menarik, tetapi sayang, minat pembeli tidak sesuai dengan harapannya. Jarang sekali orderan masuk dari sana, walau memang ada beberapa yang pesan, contohnya Elena dan teman terdekat saja.

Terkadang, dia ingin kembali bekerja saja lantaran ada penghasilan tetap dari sana. Beda dengan usaha yang ditekuninya empat tahun ini, pendapatannya tidak bisa diprediksi.

"Aku mau pesan kue ulang tahun nih, buat lima hari lagi, bisa?" Wanita berambut pendek itu bertanya setelah dia menyeruput es lemon tea yang melegakan dahaga.

"Bisa, requestnya apa? Anaknya cewek apa cowok?"

"Bukan buat anak-anak, Han. Ini tuh buat hm ...." Elena tampak ragu mengungkapkan status orang yang sebentar lagi akan berulangtahun itu.

Tak mau menebaknya, Hana membiarkan Elena menuntaskan kalimatnya. Sembari itu, dia membuang pandangan ke sekeliling kafe sejuta kenangan. Sudah tujuh tahun, tidak banyak berubah suasana di sana, hanya saja memang kursi dan meja yang ada diganti. Dekorasi dan lampu juga ada beberapa yang ditambah untuk menambah keindahan ruangan itu.

Dia menyoroti meja piano berwarna hitam di sudut ruangan itu. Ingatannya tertuju pada ucapan Kaindra tentang sosok om bertopeng. Wanita yang mahir berenang itu menyapu pandang mencari sosok pianis yang disebut-sebut putranya. Namun sayang, dia tak menemukannya di sana.

Malah, bayangan wajah Mahendra terlintas menari di benaknya. Pria itu sedang memainkan lantunan lagu yang selalu digunakan untuk menggombal, dulu. Iya, jari pria itu mahir menari di atas tuts hitam putih itu. Dia sering memamerkan kelebihannya itu di depan Hana kala status mereka masih berpacaran.

"Han, kamu dengar apa yang kukatakan?"

Suara Elena membuyarkan lamunan Hana tentang masa lalu bersama pria yang amat dicintainya tetapi itu dulu.

"Oh, iya, apa, gimana?" Hana mengajurkan napas demi menutup salah tingkahnya ketika ketahuan sedang melamun, mengabaikan kalimat yang diucapkan Elena dari tadi. 

"Melamun, ya?"

"Oh, tidak. Gimana, konsepnya tadi mau gimana, kuenya untuk siapa? Teman apa kerabat atau pacar?" Hana terkekeh, menggodanya.

Wanita cantik itu meringis.

"Bukan pacar, sih, pria itu belum mau serius dengan hubungan kita. Jadi, status kita masih teman." Ada kecewa di sorot matanya.

"Masih tahap otewe berarti." Hana lanjut menggodanya. "Ya, kali aja kejutan ini akan membuka hatinya untukmu, Len. Gimana, kuenya mau rasa apa?"

Sejenak wanita mengerutkan dahi, dia tengah berpikir dan mengingat kue kesukaan pria yang dia sukai itu.

"Aku pernah dengar dia suka brownies pisang."

"Brownies pisang?"

Hana mengulang dua kata itu. Lagi, kepingan ingatan tentang Mahendra terbit di benaknya. Hana tahu betul kue favorit pria itu, brownies pisang buatannya. Mereka pacaran bukan satu dua hari setelah itu putus. Mereka menjalin hubungan menjadi pasangan kekasih selama tiga tahun sebelum skandal kejadian itu. Jadi tak heran jika mereka saling mengenal satu sama lain meski hanya tentang makanan dan minuman favorit.

"Iya, bisa kan? Nanti brownies pisangnya kamu tambahi cream di atasnya terus dihias biar kesannya jadi kue ulang tahun. Aku memang mau kasih surprise ke dia."

Dengan antusias wanita dua puluh empat tahun itu memberi sketsa kira-kira seperti apa kue ulang tahun untuk pria yang disukainya. Sementara Hana hanya memperhatikan gerakan mulutnya saja dengan tatapan kosong dan pikiran tetap tertuju pada kebiasaan Mahendra lainnya. Ah, kenapa dia belum bisa sepenuhnya melupakan pria itu. Jelas-jelas pria itu pelaku atas rasa sakit hati dan kecewa baginya. Mengingat hal itu, hatinya kembali terasa perih.

Masih kental dalam ingatannya bagaimana dulu Mahendra menolak menikahinya, hanya gara-gara ingin melanjutkan kuliah di negara sakura dan kemudian akan pulang ke Indonesia, memimpin perusahaan papanya. Sungguh tidak berperasaan dan tidak memikirkan bagaimana nasib selanjutnya gadis yang sudah ditanam benih ke rahimnya.

"Han, kamu ngerti konsep yang aku utarakan tadi?"

Tampak tangan mulus itu mengibas di depan wajah Hana, mengernyitkan kening, sedikit bingung dengan tingkah Hana yang kurang konsentrasi sore itu. Biasanya, gadis itu akan mencatat semua informasi dalam ingatannya dengan cepat, setidaknya mengeluarkan catatan kecil dan pulpen untuk menulis poin penting tentang kue yang akan dikerjakannya. Sore itu, Hana tampak gelisah dan tak nyaman, akhirnya Elena pun angkat suara.

"Han, kamu kenapa hari ini, tidak nyaman aku ajak ke sini untuk bahas orderanku?"

Yang ditanya pun mengerjapkan mata berkali-kali sembari kepala menoleh ke kanan dan ke kiri demi mencari posisi mata yang nyaman untuk menghindari kontak mata dengan wanita bergaun biru dongker, cantik, lembut dan sungguh elegan.

Berbeda dengan dirinya, sederhana dan apa adanya, gaya pakaiannya masih sama, kaos oblong longgar dan jeans ketat yang selalu menemaninya sehari-hari. Untuk sepatu, dia lebih nyaman dengan sandal jepit dan rambut yang dikuncir satu naik ke atas seperti ekor kuda.

Iya, kesannya memang sedikit tomboi, tetapi itulah gaya penampilan Hana sejak masih di bangku SMA, sampai sekarang belum berubah.

"Biasa aja, kok. Jadi gimana tadi, kuenya brownies pisang terus ...."

Dia bergumam sambil mengambil catatan dan pulpen dari tas selempang hitam yang selalu menemani jika dia keluar rumah. Tas yang sudah lama bersamanya hingga warna sudah sedikit berubah dan bentuknya sedikit mengelupas.

Menepis ingatan tentang ayah biologis Kaindra, Hana memilih konsentrasi membahas konsep kue calon pembelinya. Memang diakui, sejak putranya membahas dan menunjuk tentang kafe ini, dia merasa masa lalu membawa dan memaksa menghadirkan sosok Mahendra di kehidupannya sekarang. Entah karena Hana masih menyimpan kenangan itu dengan rapi atau gadis itu menyimpan dendam kesumat untuk membalasnya kelak.

Kayaknya bukan, Hana bukan gadis pendendam, apalagi ibu sering mengingatkan tentang salah satu sifat yang dibenci Tuhan yaitu dendam. Berdamailah dengan masa lalu, peluklah masa depan dengan bahagia. Ya, itulah yang selalu menjadi penyemangat kala bayangan Mahendra hadir kembali tanpa permisi.

Tampak dia menarik napas berulang dan mengembuskan perlahan. Hana tidak ingin memikirkan hal yang membawanya ke masa lalu, tentu saja akan menambah daftar rasa sakit hatinya.


7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now