Bab 9

308 6 0
                                    

Bab 9

Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter, tetapi jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu.

Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin menikmati minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh kemaksiatan, berlumur dosa. Tak jarang Hana melihat wanita PSK mangkal di sana, melakukan aksinya.

Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda itu berputar saat dia berada di sekitar warung itu. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat oleh mereka.

Berdoa dalam hati, semoga mereka belum ada di tempat itu, pasalnya benda yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan angka delapan kurang. Lalu, Hana bisa bernapas lega ketika berhasil melewati warung itu tanpa ada halangan.

Masuk ke dalam rumah dengan sisa ketakutan yang masih bersemayam di hati, ia pun mengunci pintu dengan tangan gemetar. Samar-samar mendengar alunan piano dari dalam kamar, dia yakin Kaindra sedang latihan persiapan lomba beberapa hari lagi. Membuka jaket jeans yang terbalut sempurna di tubuh kurus akibat kekurangan gizi.

Iya, demi memenuhi asupan gizi putranya, Hana rela diet, jatah makanannya diberikan kepada Kiandra, berupa susu, suplemen makanan seperti minyak ikan, zinc atau sejenisnya untuk pertumbuhannya. Dia rela nasi, tempe dan tahu menemani lambung di setiap jadwal makannya.

"Nih uangnya, Bu."

Dia mengeluarkan sejumlah uang lalu tersenyum melihat foto dirinya sedang memeluk Kaindra mesra yang terselip di dompet hitam itu.

"Kamu sudah makan?"

Wanita yang melahirkannya bertanya sembari mengambil uang dari uluran tangan putrinya.  Hana menggeleng, wajah sederhana itu tampak lelah, penuh dengan minyak yang menempel dan kusam.

"Mandilah setelah itu langsung makan. Tuh ada tempe bacem dan sambal."

Mengangguk, masuk ke kamar, ia menyempatkan diri mengusap pucuk kepala putranya yang sedang fokus dengan tuts hitam putih itu. Mengambil handuk dan pakaian ganti, ia melangkah ke kamar mandi samping dapur. Jangan mikir mempunyai toilet pribadi di dalam kamar, bisa berteduh di rumah kontrakan sederhana itu, ia sudah bersyukur. Tidak perlu mewah, asal bisa dijadikan tempat berlindung dari panas dan hujan.

***

Siang itu, jari kokoh menari dengan indah di atas alat musik klasik itu, sang pria bertopeng yang menutupi sebagian wajah, sementara wajah bagian bawah seperti mulut dan dagu dibiarkan terlihat. Sengaja dia melakukan hal itu, lantaran sang pianis memang sedang mencari keberadaan wanita masa lalunya.

Kafe ini adalah tempat favoritnya dulu sebelum dia memutuskan untuk tetap melanjutkan pendidikan strata dua di negara sakura. Mahendra Adnan Prastowo, itulah orang yang selama ini dengan sukarela menjadi pianis di kafe itu tanpa bayaran.

"Sampe kapan kamu akan seperti ini, Bro?" tanya Aldo, sahabatnya dari mereka masih kecil. Mengetuk meja dengan jari telunjuk menunggu jawaban sang sahabat yang belum bisa bangkit dari masa lalu yang terus menghantuinya.

Orang yang ditanya pun menggeser kursi, duduk lalu membuka topeng dan meletakkannya di atas meja. Tak menjawab langsung, dia menyeruput minuman cokelat panas yang sudah tak ada asap yang menyembul di sana.

7 Tahun Setelah MenjandaWhere stories live. Discover now