CHAPTER 7

19 24 4
                                    


Hari itu terasa melelahkan bagi Elena. Setelah mengikuti jam-jam pelajaran yang padat, ia merasa perlu untuk sedikit menjauh dari keramaian dan mendapatkan ketenangan sejenak. Jam terakhir tiba, dan dengan alasan yang wajar, Elena izin ke toilet perempuan. Ia berjalan cepat menyusuri lorong koridor yang semakin sepi, berharap bisa sedikit menikmati waktu sendirian.

Saat menuju toilet, Elena secara tak sengaja melihat Vanessa dan kedua temannya—Celine dan Kendra—keluar dari dalam, tertawa riang, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggu suasana hati mereka. Mereka tampaknya tidak menyadari kehadiran Elena, karena mereka berjalan menjauh dengan arah yang berlawanan.

Elena tak terlalu mempedulikan mereka. Dengan langkah cepat, ia memasuki toilet dan menutup pintu di belakangnya. Namun, sesaat setelah ia melangkah lebih jauh ke dalam, pandangannya tertumbuk pada pemandangan yang mengejutkan. Seorang siswi yang tampak ketakutan, terkulai lemas di dekat wastafel. Tubuhnya gemetar, dan matanya terlihat bengkak, seperti baru saja menangis. Elena bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari gadis itu.

Tanpa berpikir panjang, Elena mendekat dan bertanya dengan lembut, "Hei, kamu baik-baik saja?"

Gadis itu menatap Elena dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. "Aku... aku dibuli..." ujarnya terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Vanessa... dan teman-temannya..."

Mendengar hal itu, hati Elena terasa perih. Ia tahu betul siapa yang dimaksud gadis itu—Vanessa dan kedua temannya yang memang terkenal suka mengejek siswa lain.

"Jangan khawatir, aku akan membantumu," kata Elena dengan tegas. "Mari, aku bantu kamu ke UKS."

Dengan hati-hati, Elena memapah gadis itu, mencoba menenangkannya meskipun ia sendiri merasa cemas. Mereka berjalan pelan menuju UKS, dengan gadis itu masih tampak sangat rapuh. Begitu sampai di ruang UKS, Elena memastikan gadis itu mendapat perhatian dari petugas kesehatan sekolah, dan ia merasa sedikit lega melihat gadis itu mendapatkan pertolongan.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Elena bergegas kembali ke kelas. Namun, saat ia sedang berjalan kembali ke arah ruang kelas, ia tak sengaja bertemu dengan seorang pria yang agak tinggi, dengan rambut hitam dan penampilan yang tampak sedikit berbeda dari siswa lainnya. Tiba-tiba, pria itu menatapnya dengan tajam, dan Elena bisa merasakan ada sesuatu yang khas dari tatapannya.

“Aku baru melihatmu,” suara pria itu terdengar rendah, namun tegas. “Kamu murid baru, kan?”

Elena terkejut dengan sikapnya yang langsung menilai tanpa basa-basi. Ia mencoba menjaga kesan tenang dan menjawab, “Iya, nama saya Elena.”

Pria itu mengamati Elena sejenak, matanya menyisir penampilannya dengan cermat, seolah sedang menilai lebih dari sekadar kata-kata. “Elena, ya... Aku Alden,” ujarnya dengan suara datar, tanpa emosi. Dia tidak mengulurkan tangan, hanya menatap Elena dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kamu baik-baik saja? Sepertinya aku melihatmu buru-buru tadi.”

Elena sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia tetap menjaga ketenangannya. “Oh, ya. Saya hanya membantu seorang teman. Ada yang butuh pertolongan di toilet.”

Alden terdiam sejenak, menilai jawaban Elena dengan tatapan yang tajam. “Hmm... Aku tidak sering melihat orang seperti kamu di sini.” Kata-katanya tetap dingin, namun ada kesan bahwa dia sedang berpikir keras. Setelah itu, ia melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, “Kamu baru di sini, jadi aku rasa kamu belum terlalu mengenal orang-orang di sekitar.”

Elena merasa sedikit canggung dengan percakapan ini, namun mencoba untuk tetap sopan. “Memang begitu. Tapi saya bisa menyesuaikan diri,” jawabnya dengan senyum kecil.

Alden menatapnya lama, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dia berkata, “Boleh minta nomor Whatsapp kamu?” Suaranya tetap terdengar datar dan tak terlalu ramah, namun pertanyaan itu terkesan langsung dan tanpa basa-basi. “Aku rasa kita bisa ngobrol lebih lanjut.”

Elena terdiam sejenak. Meski merasa sedikit ragu dengan sikap Alden yang terkesan dingin, ia merasa tidak ada salahnya untuk memberikannya. “Tentu saja,” jawab Elena, sedikit terkejut dengan permintaannya yang begitu langsung.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Alden mengeluarkan ponselnya dan menunggu dengan tatapan yang masih sama tajamnya. Elena mengirimkan nomor WA-nya, lalu Alden mengangguk singkat, memasukkan nomor tersebut ke dalam ponselnya.

“Terima kasih,” ucap Alden dengan suara yang tetap datar, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Sebelum melangkah jauh, dia menoleh sejenak dan menatap Elena dengan mata yang penuh perhitungan. “Jaga dirimu di sini, Elena.”

Elena hanya terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dengan langkah yang lebih cepat, ia melanjutkan perjalanannya menuju kelas, sedikit bingung dengan pertemuan singkat itu. Namun, entah mengapa, perasaan tak nyaman itu tetap menghantui dirinya, seolah ada sesuatu yang lebih dalam dari pertemuan itu yang belum ia mengerti.

The mask of DeceitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang