Chapter 3 - Layu Sebelum Berkembang

29 4 0
                                    

Setelah kematian bapaknya, Daniel hanya diam menatap pintu kamarnya yang berhiaskan poster film. Banyak pesan dari teman-temannya yang tidak terbalas.

Tubuhnya sedang sakit, mentalnya juga telah dihantam keras hingga membuatnya sedikit menjadi pribadi yang berbeda.

Tidak ada lagi senyuman di wajah manis Daniel, seakan kematian Bapak adalah neraka terbesar dalam hidupnya.

Bahkan ketika Emaknya menawarinya makan, Daniel menolak dengan mengunci pintu kamarnya. Ia ingin sendiri untuk kondisi seperti ini.

Menyaksikan detik-detik kematian Bapak, menyaksikan detik-detik Bapak disemayamkan sungguh membuatnya tersiksa. Ia jadi sering mendengar suara EKG sialan itu selama tujuh hari berturut-turut hingga membuatnya tidak bisa tidur.

Seakan akan alat itu berada di dalam pikirannya, dan terus terngiang-ngiang ditelinganya. Terus menghantui dirinya.

Saat ini ia hanya ingin menangis dan menangis, bahkan terlalu sakit untuknya menangis lagi.

Matanya bengkak, kepalanya pening. Dunianya seakan hancur semenjak hari itu tiba. Bahkan teriakan dari Abangnya tidak ia hiraukan.

Pikirannya bercampur aduk, ia begitu pusing untuk sekadar melirik sesuatu didekatnya, seekor kucing putih yang entah datang darimana.

Ia membawa kucing itu dalam pelukannya dan kembali menangis sejadi-jadinya, ia bercerita pada kucing putih itu betapa menyedihkannya dirinya saat ini.

Sebagai lelaki seharusnya ia lebih tegar daripada Emaknya. Tetapi tidak semua anak dapat melepaskan kepergian orangtua setegar itu.

*

Suara sahabatnya dapat ia dengar, walaupun kini dirinya tengah melamun sambil mengelus bulu kucing.

"Daniel, buka.. Ini aku, David."

"tok.. Tok.. Tok.."

David mengetuk pintu kamar Daniel berulang kali, kucing yang ia elus juga terus mengeong ketika ia mendengar ketukan David yang tanpa henti terus mengetuk.

Buka atau tidak? Daniel ragu, bahkan Abangnya saja menyerah untuk membujuknya agar keluar kamar.

Tapi, hanya David yang mengerti dirinya untuk saat ini.

Entah berapa banyak air mata yang Daniel keluarkan didalam kamar itu.

Daniel menuruni kasur dan membukakan pintu untuk David agar ia dapat masuk.

Alangkah terkejutnya David ketika menemui sahabatnya yang dikenal selalu ceria walau ditempat umum selalu diam kini dalam kondisi berantakan, matanya bengkak, terdapat bekas air mata yang tidak sempat ia usap, rambut yang terlihat acak acakan karena seringnya ia menariki rambutnya dikarenakan pusing yang sangat hebat.

David langsung memeluknya tanpa aba-aba, Daniel tidak lagi dapat mengendalikan tangisannya.

Air matanya meluncur deras ketika David memeluknya erat.

"aku tau ini nggak mudah buatmu, Niel."

"tapi, kamu masih memiliki aku. Jangan pernah ngerasa sendirian."

"...."

Daniel hanya menangis tanpa membalas ucapan sahabatnya, ia hanya ingin pelukan walaupun hal itu tidak membuat Bapaknya kembali kerumah, setidaknya itu sedikit meringankan beban hatinya.

*

"ini aku bawain rawon kesukaanmu waktu SMP."

"...."

Mata Daniel menatap rawon dalam bungkusan kresek bening diatas mangkuk bergambar ayam jago dengan dingin tanpa ekspresi.

Ia menatap David dengan tatapannya yang kosong. David semakin iba dibuatnya.

Tanda Tanya | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang