Kai betulan mendatangi alamat tempat yang dikirimkan oleh Ayunda sekitar satu setengah jam yang lalu. Berjalan tergesa-gesa sebab dia pikir kedatangannya sudah sangat terlambat dari yang seharusnya. Kai bilang kalau ia akan segera sampai dalam waktu dua puluh menit, tidak menduga klien terakhirnya akan lebih banyak bicara, ditambah perjalanan macet pada jam pulang kerja yang semestinya tidak terjadi saat hari libur. Kai tidak begitu yakin kalau Ayunda masih menunggunya di sana, tapi ...
... dia salah.
Perempuan itu duduk sendirian di balkon dengan piring bekas makanan dan dua gelas kosong di mejanya. Antara masih setia menunggunya datang atau terlalu nyaman dengan tempat dan posisi yang sekarang. Kai menghampirinya dengan mantap meski baru melihat punggung perempuan itu dari belakang. Jepitan rambutnya familiar.
"Hei, I'm so sorry. I'm missed the ball."
Kai menarik kursi di seberang meja untuk duduk di samping Ayunda—sebab Ayunda duduk menyamping di atas kursi, memandangi langit sore hari yang gelap dan sedikit bergemuruh atau hanya melamun. "Kita pindah aja yuk, kayaknya mau hujan, dingin juga di luar."
Ayunda menatap Kai yang masih berdiri, mendorong lagi kursinya ke tempat semula, urung untuk duduk di sana. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Iya, aku tahu. Masuk dulu!"
Tangan Kai terulur untuk membantunya berdiri meski tanpa dibantu pun Ayunda akan dengan mudah melakukannya.
Hawa dingin dari angin di balkon dengan leluasa membelai kulit Ayunda yang waktu itu memakai atasan crop tee dan celana kulot berbahan tipis seperti seseorang yang tidak berniat pergi. Berbeda dari Ayunda sepulang kerja yang biasanya Kai lihat.
Kai bicara dengan seorang pelayan yang hendak membersihkan meja, meminta laki-laki bercelemek merah itu untuk menunjukkan ruangan yang lebih private agar ia dan kekasihnya bisa bicara dengan nyaman tanpa ada gangguan.
"Maaf Kak, tapi kafe kami tidak memiliki ruangan pribadi seperti yang Kakak maksud. Tapi apabila Kakaknya berkenan, ada satu ruang karaoke yang kosong di lantai atas."
Kai sudah berencana untuk pindah ke tempat lain dan menolak tawaran itu saat tiba-tiba Ayunda menyeletuk dengan gampangnya.
"Oke!" katanya memberi persetujuan secara sepihak yang mau tidak mau disetujui oleh Kai juga pada akhirnya.
Mereka berakhir duduk di sofa panjang, menghadap langsung ke layar TV LED 32 inch bertuliskan Jinsoji Kafe & Karaoke---nama tempat itu. Kai yakin Ayunda asal memilih tempat untuk ia datangi sendirian, tanpa banyak basa-basi, dan tanpa pertimbangan.
"Aku capek dan kamu juga pasti capek, jadi seadanya aja," kata Ayunda, merujuk pada ruangan yang sekarang mereka tempati. Seakan-akan ia bisa membaca isi hati laki-laki itu untuk tempat yang---setidaknya---lebih baik dari pada ini.
Kai mengangguk, berusaha untuk tidak mempermasalahkan apa pun.
"Tentang lamaran itu, aku ... aku gak yakin Kai." Ayunda mengubah duduk dengan kaki bersila, menyamping sepenuhnya menghadap ke arah Kai.
Ayunda memperhatikan kaus polo putih di balik jas hitam milik kekasihnya yang sedikit memiliki noda merah di bagian dada. Antara noda saus tomat dari sandwich sewaktu sarapan atau mungkin jus semangka yang tadi siang dia unggah fotonya di instagram. Kai selalu ceroboh dengan makanan dan pakaian putih. Membuat Ayunda merasa ingin mengomel, tapi ia masih cukup tahu diri bahwa itu bukan permasalahan yang harus mereka bahas sekarang.
"Kamu gak yakin sama aku?" tanyanya.
"Bukan kamu Kai, tapi aku. Aku gak yakin sama diri aku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunda Nikah | Jenrina Bluesy
RomanceBagaimana jika menjelang hari pernikahanmu yang semakin dekat, adik perempuanmu mengaku hamil dengan kekasihnya? Pernikahan yang kamu rancang dengan banyak pengorbanan itu terancam akan batal. Itu yang dialami oleh Ayunda. Ketika Ayunda dihadapkan...