10. Kita Mulai Dari Awal

271 34 5
                                    

Anggota inti keluarga Hosianto kembali ke rumah seusai acara pernikahan Dinda di sebuah gedung serbaguna selesai digelar. Ayunda yang pada saat itu duduk di sisi kanan kursi penumpang, berduaan dengan sang nenek, mencoba duduk paling ujung demi menciptakan jarak yang sejauh mungkin dengan beliau. Sejak acara pernikahan berlangsung sampai sekarang, orang tua itu tak lepas menatapnya seolah-olah Ayunda adalah mangsa. Membuatnya merasa tidak nyaman sekaligus menyesal sebab tidak membawa kendaraan sendiri.

Kalau bukan karena Mama yang memaksanya ikut, Ayunda akan lebih memilih pergi bekerja. Tidak perlu membuang jatah cuti secara cuma-cuma, apalagi berdiam diri bersama manusia-manusia yang sepanjang perjalanan sama sekali tidak bersuara.

Mereka seperti sekumpulan orang asing yang terpaksa duduk dalam satu mobil yang sama. Atau rombongan pengantar jenazah yang suasana hatinya sedang berkabung.

Menyedihkan.

Ayunda tidak bisa membayangkan akan seperti apa pernikahannya jika tetap dilaksanakan hari ini. Mungkin orang tuanya akan dua kali lipat menyuguhkan senyuman palsu untuk tamu-tamu yang hadir atau justru sebaliknya. Pernikahan Ayunda mungkin bisa memberi setitik bahagia yang lebih nyata.

"Ya udah lah mau gimana lagi, namanya juga hidup," celetuk Ayunda secara tiba-tiba di tengah-tengah keheningan itu. Ia berniat menghibur keluarganya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Mama menoleh ke belakang tanpa benar-benar melihat Ayunda.

"Hal buruk bisa terjadi kapan aja. We never know," lanjutnya meski tidak satu pun dari mereka yang tertarik ingin mendengar. "Kita ambil hal baiknya aja. Yaa ... walaupun kalau dipikir-pikir emang gak ada, sih."

"Diem Kak, Mama lagi gak pengen denger apa-apa."

Ayunda mengangguk-anggukkan kepala. Ia terdiam selama beberapa waktu untuk menuruti keinginan Sang Mama yang sedang tidak ingin diganggu.

Namun, hening yang tak ia suka kembali mengusiknya.

"Nenek ... juga lagi sedih ya?"

Kalau Mama sedang tidak ingin diganggu, maka Ayunda masih punya Nenek untuk teman bicara setidaknya sampai mereka tiba di rumah. Meski kenyataannya dia yakin tidak akan berjalan seperti itu.

"Kenapa? Kan cucu kesayangan Nenek baru aja nikah sama pacarnya. Harusnya Nenek seneng dong?"

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di lampu merah. Suasananya masih sama hening sebab Nenek masih tidak mau menanggapi satu pun kalimatnya.

"Aku aja seneng loh, padahal hari ini aku gak jadi nikah." Ayunda masih tak mau kalah untuk melawan keterdiaman keluarganya. "Nenek juga harus gitu, gak boleh sedih."

"Mama bilang diem, Nda. Kamu ngerti nggak Mama ngomong?" Dari jok depan Mama menyahut penuh amarah yang masih tertahan. "Gak ada yang mau dengerin kamu."

Ayunda menertawai dirinya sendiri. "Aku kan emang gak pernah ada yang mau dengerin," ujarnya sebelum menyandarkan punggung sembari memejamkan mata berpura-pura tidur.

Padahal niatnya baik. Dia ingin menghibur keluarganya termasuk menghibur dirinya sendiri. Tetapi mereka bahkan tidak mau mendengarnya bicara. Sedikit pun.

Matanya kembali terpejam rapat. Ayunda sudah berjanji agar tidak akan ada lagi air mata yang menetes hari itu. Sudah cukup. Daripada membuang banyak waktu untuk menangis diam-diam seperti Mama, lebih baik memikirkan cara untuk memperbaiki hubungan dengan Kai.

Ayunda menarik napas panjang.

Nama itu.

Sejak pertemuan terakhir mereka di kantor laki-laki itu untuk membahas penundaan pernikahan, Kai sama sekali belum menghubunginya. Permintaan maaf yang Ayunda kirim sehari setelah mereka bertemu hanya dibaca tanpa ditanggapi apa-apa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nunda Nikah | Jenrina BluesyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang