Meja makan hari itu mendadak penuh oleh seluruh anggota keluarga Hosianto saat jam makan malam. Papa yang biasanya pulang terlambat dari kantor tiba-tiba pulang cepat hampir bersamaan dengan putri pertamanya yang---secara mengejutkan---turut hadir untuk makan malam bersama di rumah. Padahal biasanya, perempuan itu hampir tidak pernah ada di rumah di bawah jam sepuluh malam. Memilih makan malam bersama tunangannya setiap hari sekalian merancang acara pernikahan mereka yang sudah ditetapkan.
Terlihat menyenangkan, tetapi juga memuakkan dalam satu waktu bersamaan.
Dinda sama sekali tidak merasa iri pada keberhasilan kakaknya. Sebagai seorang adik perempuan ia juga turut merasa senang sekaligus bangga atas apa yang telah dan akan Ayunda lewati. Telah menemukan pujaan hatinya dan akan menempuh hidup baru bersama Kailan Astrabrata. Bohong kalau Dinda tidak menanti-nantikan hari itu tiba.
Namun, bersamaan dengan perasaan sukacita itu, Dinda tetap merasa muak sendiri. Mengapa kakaknya bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri sedangkan dia tidak? Mengapa kakaknya boleh melakukan semua hal yang ia mau sementara dia tidak? Mengapa kakaknya bisa memberontak di depan Mama dan Papa sedangkan dia tidak? Mengapa kakaknya selalu berhasil sementara dia tidak?
"Kailan gimana kabarnya, Kak? Udah sembuh?"
Pertanyaan Mama menjadi kalimat pembuka yang mengawali obrolan santai keluarga itu selesai menghabiskan hidangan utama makan malam. Beberapa di antara mereka mulai menarik piring berisi puding mangga yang sudah disiapkan untuk masing-masing sebagai hidangan penutup. Tersisa Dinda yang belum menghabiskan nasi beserta lauk-pauknya.
Ayunda mengangguk. Ia meneguk air mineral di gelasnya sebelum menjawab pertanyaan Mama dengan sedikit lebih jelas. "Tadi pagi dia udah ikut rapat direksi. Udah sembuh."
"Beneran udah sembuh? Mama tuh khawatir kalau Kailan sampai sakit gitu, Kak. Apalagi kemarin sampai harus diinfus gitu, aduh ... pikiran Mama gak bisa tenang."
"Ya gimana, namanya manusia masa gak boleh sakit, sih, Ma."
"Sakitnya juga gara-gara kamu! Kamu pasti terlalu maksain dia buat bikin rencana pernikahan kalian. Ya kan? Kalau kamu gak maksa dia buat ketemu dan bahas acara pernikahan kalian setiap malam, calon menantu Mama pasti gak sampai kecapekan gitu!" Mama membalas panjang, disertai emosi yang turut memuncak.
Ayunda mengerutkan kening, merasa ada yang janggal. "Kok Mama nyalahin aku? Kan yang neror aku soal persiapan pernikahan setiap harinya Mama. 'Udah sampai mana Kak persiapannya?', 'jangan main-main ya Kak, ini acara gede loh', 'sambil dipikirin dong, jangan mikir kerjaan terus'. Itu kan tekanan buat aku, Ma. Buat Kai juga."
"Mama kan cuma mengingatkan. Apa salahnya?"
"Salah, karena Mama nyalahin aku jadi penyebab Kai sakit." Ayunda kembali menyendok puding untuk dimasukkan ke dalam mulut. Merasa tidak terima sebab Mama menuduhnya memaksa Kailan untuk membahas rencana pernikahan. Padahal prakteknya, Mama sendiri sering membuatnya seolah-olah dikejar waktu.
Mama menarik napas, mencoba menetralkan emosinya. "Kalau kalian memang merasa terbebani soal rencana pernikahan itu ..."
Ayunda sudah tahu kalimat apa yang akan Mama bicarakan selanjutnya, tetapi perempuan itu tetap menunggu sampai beliau selesai mengucapkannya.
"... serahin aja semuanya sama Mama. Ya?"
"Gak!" Ayunda menolak tegas.
Dinda melengos. Lagi-lagi kakaknya melakukan penolakan dengan tanpa beban.
"Aku udah nebak ya, Ma, Mama pasti mau ke situ arahnya."
"Kenapa sih kamu gak mau Mama ikut bantuin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunda Nikah | Jenrina Bluesy
RomanceBagaimana jika menjelang hari pernikahanmu yang semakin dekat, adik perempuanmu mengaku hamil dengan kekasihnya? Pernikahan yang kamu rancang dengan banyak pengorbanan itu terancam akan batal. Itu yang dialami oleh Ayunda. Ketika Ayunda dihadapkan...