03. Mengapa Harus Membenci Gagal?

291 42 0
                                    

"Papa apa-apaan sih! Ya iya Yunda setuju, tapi gak harus malam ini juga Pa acaranya!"

Perempuan itu berdiri di tengah-tengah manusia sibuk mondar-mandir memasukkan banyak bunga ke dalam rumah. Entah akan dijadikan taman atau lautan bunga yang jelas Ayunda ingin menghentikan aktivitas mereka semua. Wangi bunga yang semerbak memenuhi ruangan mendadak membuatnya sesak napas.

Ingin pingsan.

Terlebih saat semua orang bergerak semaunya, tidak ada satu pun yang mau mendengarnya. Tidak ada yang mau mengerti perasaan Ayunda.

Papa menepuk pelan pundak anak gadisnya. "Udah lah, kamu percaya aja sama Papa. Memangnya kamu mau nunggu sampai kapan? Sampai kamu dapat kasus baru lagi? Terus sibuk lagi?" Ia membimbing Ayunda agar sedikit bergeser ke sisi kiri sebab orang-orang florist ingin menghias bagian ruang tamu. "Ini momentumnya sudah pas. Kamu selesai sidang dan Pak Surya juga baru pulang dari luar negeri. Gimana? Masa harus ditunda-tunda lagi?"

"Permisi Bapak, kami dari Butik Kenangan, anggota keluarga yang mau fitting baju yang mana saja ya?"

Seorang wanita---kira-kira seumuran Mama---memakai kebaya Bali khas para karyawan di Butik Kenangan langganan Keluarga Hosianto tiba-tiba masuk ke dalam rumah, diikuti beberapa orang lainnya yang membawa satu stand gantungan baju berisi beberapa kebaya yang sudah diberi nama sesuai anggota keluarga.

"Oh sudah datang ya?" Mama dengan cepat menghampiri mereka seolah sudah lama menunggu kedatangannya.

"Kenalin ini anak saya Ayunda, dia yang mau lamaran malam ini, Jeng!" katanya penuh antusias memperkenalkan Ayunda kepada wanita itu seperti teman akrab, mengajaknya mengobrol sebentar ke dalam rumah yang lebih hening dari pada ruang tamu. "Maaf sekali rumah ini lagi berantakan, soalnya pesanan bunga dari calon menantu baru datang. Kebetulan kalian juga datang pagi ini, jadi harap maklum ya Jeng."

"Kalian langsung ikut sama Mbak Ayunda dulu saja," perintah wanita itu berakhir membuat Ayunda terkurung di dalam kamar tamu untuk menjajal dua kebaya bertuliskan namanya yang entah dipesan sejak kapan.

Ran menemaninya.

Perempuan itu selalu menahan Ayunda untuk tidak mengatakan hal-hal bodoh di depan Mama dan wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Nyoman---pemilik Butik Kenangan---seusai keduanya menyusul.

"Tahan emosi lo bego, jangan bikin malu diri lo sendiri," bisik Ran disela-sela membantunya mengancingkan rok batik yang terasa kekecilan di bagian perut.

"Gimana Mbak Ayunda, pas 'kan?"

"Kekecilan," balasnya terang-terangan. "Lagian ini pakai ukuran apa sih? Kebaya wisuda kemaren apa badannya Dinda?"

Tiba-tiba saja Ran tertawa. "Itu pasti karena lo jarang olahraga akhir-akhir ini karena sibuk ngurusin kasus, ya kan? Ahahaha, ini lo tinggal ngeplank semenit juga ilang kok lemak-lemaknya."

"Mana ad---"

"Toh kalau kebaya kedodoran kan gak bagus ya, Tante, ya? Bagusan kayak gini kan?"

"Iya dong. Ih kamu gimana sih, Kak." Mama sepertinya bisa membaca isi pikiran Ran sekaligus melihat suasana hati si sulung yang kurang baik. Atau lebih tepatnya lagi, beliau takut mulut kurang ajar Ayunda bertindak lebih brutal di hadapan banyak orang. Maka dari itu Ibu dua anak ini segera mengakhiri sesi Ayunda untuk Dinda dan Nenek berikutnya.

Membiarkan Ayunda dan sahabatnya kembali ke kamar di lantai atas.

"Gue gak nyangka banget acaranya bakal digelar malem ini juga. Asli. Ajaib banget keluarga lo, Ay." Ran mengunci pintu kamar Ayunda agar mereka bisa bicara dengan tenang tanpa gangguan penghuni rumah ini yang menyeramkan. "Tenang, tenang, oke, Ran lo harus tenang!"

Nunda Nikah | Jenrina BluesyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang