"Julia, boleh papa masuk, nak?" Seru Seokjin mengetuk pintu kamar Julia dengan perasaan khawatir.
Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Julia sudah memiliki bengkak disekitar mata membuat Seokjin merasakan sakit. Julia terlahir menjadi gadis yang ceria namun Julia yang sekarang berdiri dihadapannya dia seperti selembar kertas diatas bara lilin.
Seokjin memeluk Julia, dia mengusap lembut punggung gadis tersebut. "Julia, papa ada perusahaan di luar negeri. Kalo Julia ngerasa di negara ini terasa sesak buat Julia, papa nggak keberatan kuq, bawa Julia tinggal disana sama mama juga. Kita bisa mulai semuanya dari awal. Julia sekolah disana. Apapun, apapun yang Julia pingin, sebisa mungkin papa bakal penuhi, oke."
"Kenapa papa jauh lebih baik dari ayah Julia yang asli huh? Ayah Julia bahkan nggak pernah tanya apa yang Julia pikirin. Kenapa papa baik banget sama Julia?"
"Karena papa nggak jauh beda sama Julia. Papa juga sendirian kuq di dunia ini."
"Bo'ong! Terus Jimin?"
"Jimin anaknya temen papa. Dia kecelakaan di kapal perjalanan mau bisnis. Cuma Jimin doang yang bisa diselametin waktu itu. Karena mereka nggak ada kerabat, Jimin bakalan ditaruh di panti pada awalnya. Tapi papa nggak bisa biarin itu terjadi, kan? Gimanapun mereka temen baik papa dan Jimin juga sedikit istimewa. Waktu pertama lihat Jimin, papa udah ngerasa sreg aja gitu, sama dia. Jadi papa putusin buat ambil Jimin sebagai anaknya papa."
"Jadi itu artinya papa masih perjaka? Maksudku lajang, gitu?"
"Bisa di bilang begitu." Jawab Seokjin sedikit malu untuk mengakui statusnya.
Julia ingin tertawa mendengar pengakuan itu, namun sebisa mungkin dia berusaha untuk menahannya.
"Sejujurnya, papa agak kecewa sama cara Julia ngomong ke ayahnya Julia. Bagaimanapun, dia ayahmu. Suka atau tidak, faktanya kamu berdiri disini, utuh, masih ada nafas juga sebagian besar dari jasa ayahmu. Biarpun papa juga jengkel, kecantikannya papa di perlakuin kayak gitu. Tapi papa akuin, dia cukup baik. Mau berbagi nasi sama kamu, mau berbagi harta sama kamu, itu cukup ada jasanya loooo. . ."
"Pah, bisa nggak kalo ngomong seriusan dikit. Papa kayak lagi ngejek julia, ya tuhan."
"Mana ada papa ngejek julia, papa itu serius nak. Apa yang diomongin papa itu fakta, bahwa kau bisa sebongsor sekarang juga berkat kim Taehyung."
"Ya tuhan bongsorrrr. . . . nggak sekalian papa nyebut juli, babi, pa?"
"Emang boleh? Kalo iya, papa juga setuju sih. . ."
"MAMA! PAPA NYEBUT JULIA BABIIIIIIII!"
tangan Seokjin terulur membekap mulut julia yang sedang berteriak kecang. "Eettssss. . . . kuq gitu? Kuq ngadu? Juli mau, papa makan rumput di halaman? Julia tega?"
"Salah sendiri papa nyebut juli babi."
"Kan juli sendiri tadi yang bilang minta di panggil babi."
"MAMAAAAAAA. . ."
"Julia, apaan sih, juli? Nggak enak tau di dengerin tetangga. Entar dikira kamu lagi dikebuli, lagi."
Kebuli? Seperti daging babi kebuli?
Mendengar Ucapan dita Seokjin tertawa terbahak-bahak hingga terjatuh ke lantai. Dia tidak tahan melihat wajah Julia yang semakin kusut.
"Babi? Kalian yang babi, kalian semua keluarga babi!" setelah berteriak, julia berlari ke kamar jimin, meninggalkan Seokjin yang masih tertawa dan dita yang tertegun tidak mengerti apapun.
"Ada apa sama julia?"
Mendapatkan pertanyaan itu, seketika seokjin berhenti tertawa. Dia mencoba tampil lebih normal. "Tidak ada, hanya dilarang menyebut kata "Babi" dirumah ini, oke."
"Babi?"
Dita menatap kepergian Seokjin yang menghilang di ujung tangga dan berpikir keras tentang "babi" yang disebutkan.
.
.
.
.
.
Malam hari setelah makan malam selesai, semua kembali ke kamar masing-masing. Dita membawa tiga gelas susu hangat dan mengantarkannya ke masing-masing kamar.Dikamar Seokjin.
"Susu panas untuk mu." seru dita meletakkan segelas susu diatas nakas.
"Terimakasih." gumam Seokjin mengaitkan kacang piyamanya memunggungi dita.
"Dita, gimana menurutmu tentang situasi julia sama ayahnya, hum?"
Dita berhenti sejenak, dia duduk di sofa ranjang Seokjin. "Ini sulit, aku udah pernah nyoba buat temuin ayahnya julia tapi seperti yang kamu lihat, mereka itu keterlaluan. Apa kamu pikir aku cukup gila mengambil anak orang buat dijadiin anak, sementara usia kita cuma beda empat tahun doang hum? Ini ya karena aku ngelihat sendiri, gimana nggak pedulinya dia sama julia."
"Gimana menurut kamu kalo aku bawa julia ke luar negeri? Kita bisa mulai hidup baru disana. Dan bisa bikin julia lebih bebas lagi."
"Menurutku nggak buruk sih, tapi nggak bagus juga menghindari masalah kayak gini. Kita harus memperjelas semuanya. Maunya seperti apa,mau kayak apa,kita harus bikin semua clear. Kalo endak, mereka cuma bakalan ganggu masing-masing terus menerus."
.Seokjin menganggukkan kepalanya sependapat. "Bener. . . bener. . . . kalo gitu, mungkin aku bakalan bujuk julia deh, biar mau ngobrol sama ayahnya. Kalo entar udah ada keputusan, baru kita pindah"
"Oke. Kalo gitu aku balik dulu.aku udah ngantuk, besok harus bantu ibu-ibu sekitar, metik cherry. Kalo kamu bangun lebih awal, tolong bangunin aku. Bye."
Setelah berpamitan,Dita kembali ke rumah sebelah, rumah dimana dia menyewa di awal.
Si sudut halaman yang tidak terlihat.
"Iitrrsshhh Kenapa sih, papa sama mama nggak tinggal sama-sama aja? Itu juga,pria tua kolot, lamar kek, ceweknya."
"Jimin. . .Jimin. . . Jimin. . . "
"Kamu masih kecil, nggak pantes lamar-lamaran."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Baru Untuk Julia
FanfictionLangsung saja dibaca! bahasa non-baku dan campur aduk kayak nasi.